Bicara kabupaten tertua berarti kembali ke masa awal terbentuknya Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi provinsi pada 1964, ketika 4 kabupaten bergabung membentuk satu provinsi. Mereka adalah Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton. Keempatnya di masa lalu adalah kerajaan mayor di jazirah tenggara Pulau Sulawesi.
Fakta lainnya, ada 2 afdeling zaman penjajahan Belanda yang bergabung dalam proses terbentuknya Provinsi Sultra. Afdeling Boeton Laiwoi yang terdiri atas onder afdeling Buton, Laiwoi, dan Muna, di tambah satu bekas onder afdeling dari afdeling Luwu, yaitu Kolaka. Afdeling Luwu berdiam di Sulawesi Selatan.
Onder afdeling Kolaka ditarik masuk ke afdeling Boeton Laiwoi pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 dan tetap dipertahankan begitu ketika Indonesia merdeka oleh pemerintahan awal negara ini.
Pada masa penjajahan Belanda, Sultra merupakan bagian dari Provinsi Celebes (Sulawesi) dengan ibu kotanya Makassar.
Pada masa penjajahan Belanda, Sultra merupakan bagian dari Provinsi Celebes (Sulawesi) dengan ibu kotanya Makassar.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno melakukan pengaturan wilayah administrasi pemerintahan dan pada 1952 Sultra ditetapkan sebagai salah satu kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra).
Tujuh tahun kemudian, tepatnya 1959, Kabupaten Sultra dimekarkan jadi 4 daerah otonom yaitu Kabupaten Muna, Buton, Kendari, dan Kolaka. Lalu pada 1964 keempat kabupaten itu bergabung membentuk satu provinsi bernama Provinsi Sultra. Provinsi baru ini ditetapkan menjadi provinsi yang ke-26 di Indonesia.
Buton dengan aspalnya, Muna dengan hutan jatinya, Kolaka dengan tambang nikelnya, Konawe dengan pertanian dan peternakannya. Aset inilah modal awal Provinsi Sultra tumbuh dan berkembang.
Bagaimana Pulau Muna bisa melimpah pohon jati, ada kisah yang diceritakan turun-temurun.
Kisah ini terjadi awal abad ke-15. Memerintah Kerajaan Muna pada saat itu Raja Sugi Laende dan armada perangnya dipimpin Kapitalao (Panglima Perang) Paelangkuta.
Suatu hari Paelangkuta pulang dari Jawa usai membantu Jepara berperang melawan Inggris. Dia diberi oleh-oleh benih pohon jati.
Dari situlah asal penamaan kulidawa. Kuli artinya kayu, dawa artinya Djawa dalam lidah orang Muna. Dia ditanam di wilayah yang saat ini bernama Napabalano.
Pada masa penjajahan Belanda, potensi jati dibudidayakan. Menurut catatan harian Jules Couvreur seorang kontrolir onderafdeling Muna yang diutus Belanda tahun 1933 sampai 1935, semacam bupati sekarang ini, Belanda menginjakkan kaki di Muna tahun 1906,
Catatan tentang jati zaman Belanda ditulis budayawan Muna, H Sido Thamrin, mantan wartawan.
"Pada tahun 1933, oleh Belanda dibuka untuk pertama kali kultur tanaman jati dengan luas ±15 ha sebagai percobaan di kampung Liabhalano (12 km dari Raha). Menyusul kultur patu-patu I (1936) dan II (1938) dan kultur Warangga (km 1-2,5 dari Raha) tahun 1940. Terakhir kultur Wasawala (dekat Karaaraano) pada tahun 1942, menjelang tantara Jepang masuk di Muna."
"Untuk melancarkan ekspor kayu jati langsung dari Raha, pemerintah Belanda mendatangkan sebuah perusahaan yang cabangnya berdomisili di Raha, yang bernama “Verenigde Javasche Houthandel Maetschappy” yang disingkat “Vejahoma”. Berkantor dan bermarkas di utara Kota Raha pada tahun 1936."
Harga jati di pasaran dunia sangat menggiurkan membuat jati digelari Emas Hijau.
Dekade awal 2000-an pohon jati di hutan sudah tidak ada, habis dijarah, tapi bukan berarti jati punah. Jati beralih tumbuh di kebun-kebun masyarakat, dibudidayakan.
Pohon jati yang masih selamat dalam hutan tinggal di Cagar Alam Tampo. Salah satunya jati tua berusia sekitar 350 tahun sungguh menyenangkan dia tetap utuh berdiri. Saksi bisu kejayaan pulau ini dengan jati. Sekaligus pengingat, sudah sangat lama jati membersamai Pulau Muna.
Menurut situs Kementerian PUPR, aspal Buton ditemukan seorang Geolog Belanda yang bernama W.H. Hetzel pada 1924, di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada 21 Oktober 1924 konsesi penambangan aspal Buton selama 30 tahun diberikan kepada seorang pengusaha Belanda bernama A. Volker. Pengusahaan pertambangan aspal Buton selanjutnya dilakukan oleh perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maatschappij Buton.
Selama masa pendudukan Jepang 1942-1945 tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan asbuton dimasukkan dalam Bagian Butas (Buton Asphalt) dari Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 Desember 1954 Nomor P 25/ 56/13 dan 19 Desember 1955 Nomor P 25/51/117.
Bagian Butas ini merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maatschappij Buton yang mengelola asbuton selama masa penjajahan Belanda
Selanjutnya Bagian Butas ini dipisahkan dan berdiri menjadi PAN (Perusahaan Aspal Negara) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 195 yang disahkan pada tanggal 12 Mei 1961.
Penemuan ini dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij. Menjadikannya tambang bijih nikel tertua di Indonesia.
Pada saat Perang Dunia II, pabrik nikel Pomalaa sukses direbut Jepang dari tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada 1968 pemerintah Indonesia mendirikan perusahaan negara yang diberi nama PN ANTAM, penggabungan dari beberapa perusahaan negara pada saat itu yang berpusat di Jakarta.
Dan pada 1976 atau dua tahun setelah berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT ANTAM), dia untuk pertama kalinya melakukan Operasi Komersial Pabrik Feronikel I Pomalaa dan pada 1995 melakukan Operasi Komersial Pabrik feronikel II di Pomalaa.
Pernyataan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 18 September 2023, Menteri Arifin Tasrif menyebut, cadangan nikel Indonesia bakal habis dalam 15 tahun ke depan.
Ia membagi sumber daya nikel Indonesia dalam bentuk cadangan dan potensi. Menurutnya, cadangan nikel tanah air tersisa 5,3 miliar ton dan potensinya menyentuh 17 miliar ton.
"Jadi kalau 5 miliar ton ini kalau dengan kapasitas yang sama 15 tahun, tapi kalau bisa kembangkan potensi ini bisa panjang," jelas Arifin, Senin (18/9/2023)
Baca Juga:
Tujuh tahun kemudian, tepatnya 1959, Kabupaten Sultra dimekarkan jadi 4 daerah otonom yaitu Kabupaten Muna, Buton, Kendari, dan Kolaka. Lalu pada 1964 keempat kabupaten itu bergabung membentuk satu provinsi bernama Provinsi Sultra. Provinsi baru ini ditetapkan menjadi provinsi yang ke-26 di Indonesia.
Modal Daerah Berotonomi
Provinsi ini dibangun dengan optimisme tinggi berdasarkan potensi sumber daya alamnya cukup memadai untuk menyelenggarakan otonomi daerah.Buton dengan aspalnya, Muna dengan hutan jatinya, Kolaka dengan tambang nikelnya, Konawe dengan pertanian dan peternakannya. Aset inilah modal awal Provinsi Sultra tumbuh dan berkembang.
Jati Muna
Pada saat pemekaran Kabupaten Sultra menjadi 4 daerah otonom pada 1959, hutan jati di Pulau Muna mencapai 60 ribu hektare. Sampai-sampai Muna dulu disebut Pulau Selaksa Jati dan ibu kotanya, Raha, disebut Kota Jati. Saking melimpahnya, jati dijadikan kayu bakar dan pagar.Bagaimana Pulau Muna bisa melimpah pohon jati, ada kisah yang diceritakan turun-temurun.
Kisah ini terjadi awal abad ke-15. Memerintah Kerajaan Muna pada saat itu Raja Sugi Laende dan armada perangnya dipimpin Kapitalao (Panglima Perang) Paelangkuta.
Suatu hari Paelangkuta pulang dari Jawa usai membantu Jepara berperang melawan Inggris. Dia diberi oleh-oleh benih pohon jati.
Dari situlah asal penamaan kulidawa. Kuli artinya kayu, dawa artinya Djawa dalam lidah orang Muna. Dia ditanam di wilayah yang saat ini bernama Napabalano.
Pada masa penjajahan Belanda, potensi jati dibudidayakan. Menurut catatan harian Jules Couvreur seorang kontrolir onderafdeling Muna yang diutus Belanda tahun 1933 sampai 1935, semacam bupati sekarang ini, Belanda menginjakkan kaki di Muna tahun 1906,
Catatan tentang jati zaman Belanda ditulis budayawan Muna, H Sido Thamrin, mantan wartawan.
"Pada tahun 1933, oleh Belanda dibuka untuk pertama kali kultur tanaman jati dengan luas ±15 ha sebagai percobaan di kampung Liabhalano (12 km dari Raha). Menyusul kultur patu-patu I (1936) dan II (1938) dan kultur Warangga (km 1-2,5 dari Raha) tahun 1940. Terakhir kultur Wasawala (dekat Karaaraano) pada tahun 1942, menjelang tantara Jepang masuk di Muna."
"Untuk melancarkan ekspor kayu jati langsung dari Raha, pemerintah Belanda mendatangkan sebuah perusahaan yang cabangnya berdomisili di Raha, yang bernama “Verenigde Javasche Houthandel Maetschappy” yang disingkat “Vejahoma”. Berkantor dan bermarkas di utara Kota Raha pada tahun 1936."
Harga jati di pasaran dunia sangat menggiurkan membuat jati digelari Emas Hijau.
Dekade awal 2000-an pohon jati di hutan sudah tidak ada, habis dijarah, tapi bukan berarti jati punah. Jati beralih tumbuh di kebun-kebun masyarakat, dibudidayakan.
Pohon jati yang masih selamat dalam hutan tinggal di Cagar Alam Tampo. Salah satunya jati tua berusia sekitar 350 tahun sungguh menyenangkan dia tetap utuh berdiri. Saksi bisu kejayaan pulau ini dengan jati. Sekaligus pengingat, sudah sangat lama jati membersamai Pulau Muna.
Aspal Buton
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel pada 27 September 2022 mengungkapkan kepada media massa, potensi aspal Buton yang dimiliki saat ini sekitar 663 juta ton dan setelah dimurnikan bisa menghasilkan sekitar 150 juta ton. Cadangan aspal tersebut, menurut Gobel, untuk berswasembada hingga 125 tahun.Menurut situs Kementerian PUPR, aspal Buton ditemukan seorang Geolog Belanda yang bernama W.H. Hetzel pada 1924, di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada 21 Oktober 1924 konsesi penambangan aspal Buton selama 30 tahun diberikan kepada seorang pengusaha Belanda bernama A. Volker. Pengusahaan pertambangan aspal Buton selanjutnya dilakukan oleh perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maatschappij Buton.
Selama masa pendudukan Jepang 1942-1945 tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton.
Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan asbuton dimasukkan dalam Bagian Butas (Buton Asphalt) dari Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 Desember 1954 Nomor P 25/ 56/13 dan 19 Desember 1955 Nomor P 25/51/117.
Bagian Butas ini merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maatschappij Buton yang mengelola asbuton selama masa penjajahan Belanda
Selanjutnya Bagian Butas ini dipisahkan dan berdiri menjadi PAN (Perusahaan Aspal Negara) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 195 yang disahkan pada tanggal 12 Mei 1961.
Nikel Pomalaa
Literatur yang ada mencatat, sejarah pertambangan nikel di Pomalaa dimulai pada 1909, ketika Eduard Cornelius Abendanon, ahli geologi berkebangsaan Belanda, menemukan bijih nikel di Pomalaa.Penemuan ini dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij. Menjadikannya tambang bijih nikel tertua di Indonesia.
Pada saat Perang Dunia II, pabrik nikel Pomalaa sukses direbut Jepang dari tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada 1968 pemerintah Indonesia mendirikan perusahaan negara yang diberi nama PN ANTAM, penggabungan dari beberapa perusahaan negara pada saat itu yang berpusat di Jakarta.
Dan pada 1976 atau dua tahun setelah berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT ANTAM), dia untuk pertama kalinya melakukan Operasi Komersial Pabrik Feronikel I Pomalaa dan pada 1995 melakukan Operasi Komersial Pabrik feronikel II di Pomalaa.
Pernyataan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 18 September 2023, Menteri Arifin Tasrif menyebut, cadangan nikel Indonesia bakal habis dalam 15 tahun ke depan.
Ia membagi sumber daya nikel Indonesia dalam bentuk cadangan dan potensi. Menurutnya, cadangan nikel tanah air tersisa 5,3 miliar ton dan potensinya menyentuh 17 miliar ton.
"Jadi kalau 5 miliar ton ini kalau dengan kapasitas yang sama 15 tahun, tapi kalau bisa kembangkan potensi ini bisa panjang," jelas Arifin, Senin (18/9/2023)
Comments
Post a Comment