Salah satu makanan tradisional suku Muna yang mendiami Pulau Muna di Sulawesi Tenggara adalah kabuto. Suku yang mana ubi dan jagung menjadi makanan pokok tradisionalnya. Bila Anda mendengar orang Muna sesumbar bahwa akar pun mereka makan, maka yang dimaksud adalah ubi kayu.
Kabuto terbuat dari ubi kayu (singkong) yang dikeringkan. Kabuto bahasa Muna artinya lapuk. Kabuto sebenarnya teknik mengawetkan ubi kayu agar tahan lama disimpan sampai bila diolah kembali untuk dimakan kapan saja.
Kreativitas semacam ini biasanya lahir pada masa-masa sulit, ketika makanan setiap butirnya sangat berharga, sehingga harus diupayakan tidak ada yang terbuang dan sia-sia. Terutama di masa penjajahan di mana waktu dan tenaga habis disita kerja paksa, jangankan menjalankan kewajiban menafkahi keluarga, mengurus diri sendiri saja tidak sempat.
Bagi yang tidak rela bertekuk lutut pada penjajah, mereka melarikan diri ke hutan-hutan, main petak umpet dengan penjajah, dan hidup prihatin. Di sinilah pentingnya survival, salah satunya tahu cara mengawetkan bahan makanan.
Bila panen ubi melimpah, kecepatan menghabiskannya bisa kalah cepat dengan pembusukan. Untuk itu dikembangkan cara untuk mengawetkannya maka ditemukanlah teknik pelapukan atau kabuto.
Ubi kayu yang kira-kira akan segera membusuk dikupas kulitnya kemudian dijemur di terik matahari sampai kering, sampai keropos seperti kayu lapuk. Penjemuran bisa memakan berhari-hari lamanya, satu atau dua minggu, tergantung intensitas terik matahari. Sudah itu disimpan di ghahu.
Kabuto mentah |
Ghahu adalah loteng rumah, ruang antara atap dengan plafon. Petani tempo dulu menjadikan loteng rumahnya sebagai lumbung pangan. Jagung, kacang tanah, kabuto, distok di situ. Mereka biasa menanam jagung ditumpang sari dengan kacang tanah, itulah mengapa di lotengnya ada kacang tanah juga.
Ubi kayu kalau sudah jadi kabuto bisa diolah menjadi makanan yang bernama kabuto dan juga hogohogo.
Jadi, kabuto itu salah satu teknik pengawetan makanan yang kemudian menjadi nama spesifik makanan itu sendiri, seperti dalam kasus daging rendang.
Cara Membuat Kabuto
Kabuto kukus |
Ubi kayu kering yang sudah jadi kabuto tadi dipotong-potong seperti potongan ketika hendak merebus ubi kayu basah. Kemudian direndam dulu semalaman. Keesokan harinya ditiriskan baru dikukus.
Kukusan tempo dulu, sebelum orang mengenal dandang dan panci, adalah menggunakan kantofi. Anyaman dari daun kelapa sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut.
Periuknya menggunakan apa yang mereka namakan bosu, yaitu buyung yang terbuat dari tanah liat. Saat mengukus, kantofi tinggal didudukkan kerucutnya di mulut buyung.
Demikianlah kabuto dimasukkan dalam kantofi lalu dikukus di bosu. Bila sudah matang, ubi kayu yang kering dan keropos itu mungkin sukar Anda percaya jadinya legit, semakin lapuk semakin legit teksturnya, semakin enak pula rasanya.
Tentu sudah sangat jauh berbeda rasanya dengan singkong rebus. Namun tidak kalah nikmat. Kabuto paling maknyus dimakan dengan ikan pindang dan sayur bening.
Cara Membuat Hogohogo
Hogohogo |
Hogohogo lain lagi cara mengolahnya. Ubi kabuto kering ditumbuk sampai halus, tidak perlu direndam terlebih dahulu seperti saat membuat kabuto.
Habis ditumbuk kemudian dikukus di atas kantofi. Sambil menunggu matang, parutlah kelapa setengah tua. Bila hogohogo telah matang, angkat lalu taburkan kelapa parut seperti pada kue apam.
Hogohogo rasanya tidak legit seperti kabuto, tapi teksturnya gurih seperti kue putu. Dimakan begitu saja dengan kelapa parutnya pun sudah sangat enak, apalagi ditemani ikan pindang dan sayur bening. Gurih, lezat, nikmat, berpadu dalam satu hidangan.
Makanan Sultan
Dahulu kabuto makanan rakyat jelata. Dia tidak tergolong makanan “sultan”. Dia tidak dihidangkan di acara-acara penting dan istimewa, umpamanya, acara menyambut tamu, pesta, haroa, atau piknik.
Haroa adalah acara baca doa selamatan (kenduri) yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya, hari Lebaran, masuk rumah baru, naik jabatan, dan semacamnya.
Tapi sekarang kabuto naik pamor. Mungkin karena mengolahnya rumit dan di zaman serba instan ini tidak banyak lagi orang yang mau repot-repot mengolahnya. Lantaran itu dia sekarang menjadi makanan sulit ditemukan, kalaupun ada kedai atau restoran yang menyediakannya, harganya mahal. Dia berubah jadi makanan sultan.
Kalau kayu semakin lapuk semakin tiada nilainya, maka ubi kayu semakin lapuk semakin aduhai. Di samping itu yang membuatnya mahal adalah kenangannya. Cita rasa masa silam, masa kanak-kanak. Banyak orang mencarinya hanya untuk bernostalgia. (*)
Comments
Post a Comment