Kampanaha bagi kaum perempuan Kerajaan Muna tidak sekadar kesukaan mengunyah sirih. Ia menjadi salah satu alat perjuangan ketika negeri dirudapaksa penjajah.
Tentu saja tidak seheroik kisah perempuan Aceh bernama Malahayati ketika menghimpun janda-janda para pejuang yang gugur di medan perang, lalu mengangkat senjata menentang penjajahan Belanda.
Penggalan cerita terbaik Malahayati ada di geladak kapal ketika ia memaksa perang laut. Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman, dalam pertempuran satu lawan satu. Dengan sebab itu, ia mendapat gelar laksamana. Malahayati, laksamana wanita pertama di dunia, sebenarnya.
Kampanaha adalah kotak berisi bahan-bahan membuat ramuan sirih. Mengunyah ramuan ini oleh bahasa ibu disebut mepana. Gerakan Mepana oleh perempuan Muna, lebih pada perlawanan tanpa senjata.
Dunia mengenal garam dalam sebait sejarah pembebasan sebuah bangsa. Suatu ketika Inggris mengambil kebijakan yang keras terhadap negeri jajahannya, India, sampai-sampai warga India dilarang membuat sendiri garam. Harus beli dari Inggris dengan harga tinggi.
Mahatma Gandhi tampil memantik api perlawanan. 12 Maret 1930, Gandhi dan 78 pengikutnya berpawai ke kota Dandi yang terletak di Pantai Laut Arab yang berjarak 241 mil. Setelah mereka sampai di Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini dengan segera meluas ke seluruh India tanpa bisa dicegah, dan kemudian dikenal dunia sebagai Gerakan Satyagraha.
Waktu Hindia Belanda angkat kaki dari Pulau Muna, keadaan tidak menjadi lebih baik. Tentara Nipon yang datang setelah itu, selain lebih kejam, juga dikenal agak lebay. Walau terbilang singkat, masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 serasa 350 tahun bersama Belanda.
"Orang Jepang suka ganggu perempuan, apalagi kalau cantik," tutur Wa Into, nenek yang usianya pada 2014 diprediksi telah mencapai 100 tahun.
"Supaya tidak diganggu, caranya, kita makan sirih. Jadi, waktu itu biar masih cewek, kita makan sirih," ia melanjutkan.
"Orang Jepang jijik liat perempuan yang makan sirih. Mereka bilang: kotor mulutnya," sambung Wa Into.
Walau tubuhnya kini mulai renta, Wa Into masih kuat bekerja dan jalannya pun masih tegak. Masih bisa diajak mengenang masa lalu. Ia bahkan akan mengisahkannya dengan penuh gairah. Ia hidup bersama anak perempuannya di Kota Raha yang kawin dengan La Usa, seorang guru. Sebelum pensiun, La Usa pernah menjabat Kepala SMUN 2 Raha, kemudian diangkat menjadi pengawas.
Mepana--biasanya dilakukan setelah menjadi ibu rumah tangga--telah menyublim dalam sukma kebudayaan. Ia mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna. Ia diturutkan dalam hampir semua ritul adat. Mulai dari tradisi menyambut kelahiran, hingga mengantar kematian.
Sirih diambil buahnya, dicampur dengan gambir, dan kapur, serta pinang muda, kemudian ditumbuk. Ada alat penumbuknya sendiri. Setelah lumat, barulah diemut.
Sampai kini, masih ada yang meneruskan tradisi ini. Terlebih, ada efek lain yang bisa dipetik dengan kebiasaan mepana. Yaitu gigi awet dan kuat. Menjadi tidak masalah kendati harus mengorbankan sisi feminin. Masih punya barisan gigi yang lengkap sampai tua renta adalah kebaikan tersendiri.
Ketika para lelaki membelakangi penjajah, kaum perempuan mendukung dengan caranya sendiri.(*)
Comments
Post a Comment