Bila tanah di bawah pohon manggopa (jambu bol jamaika) sudah berwarna merah, anak 80/90-an mafhum saatnya pergi mencari bambu cina, untuk bikin katemba-temba--nama di Pulau Muna untuk menyebut permainan tembak-tembak.
Pelurunya dari bunga manggopa. Bisa juga bunga jambu air atau buah patiwala (sariala). Patiwala malah tidak mengenal musim, berbuah sepanjang tahun. Tapi tidak ada kalahnya bunga manggopa. Bunyinya lebih keras dan pedihnya lebih terasa jika kena badan. Adrenalinnya di situ.
Dan yang lebih penting, kalau di musim manggopa berbunga gairahnya serentak satu dunia, permainannya jadi semarak, perang di mana-mana. Jadinya massal.
Selain adu jago tembak, orang juga mengadu bunyi. Siapa paling besar bunyinya, baik letusannya maupun bunyi letupan ketika stik dicabut dari tabungnya.
Adakalanya moncong temba-temba dipasangi potongan kerucut botol plastik kecap ABC, sedemikian rupa hingga membentuk moncong terompet, demi mendapatkan efek perbesaran bunyi letusan.
Musim temba-temba kemudian disusul dengan musim manggopa, ketika tiba saatnya bunga yang lolos dari dijadikan peluru telah matang.
Buah manggopa enak rasanya. Apalagi yang dipungut di tanah, yang jatuh sendiri karena matang di pohon.
Meski begitu, untuk mengambilnya tidak mudah. Biasanya harus berebutan dengan teman-teman sejalan. Jangan tanya keras perjuangannya. Namun, sepadan dengan rasanya.
Bambu cina mudah didapat, karena jamak dijadikan pagar hidup pada masa itu. Bersaing dengan beluntas walau tidak lebih populer.
Sedangkan manggopa, pohon ini seperti ada di mana-mana. Kebanyakan dikembangbiakkan kelelawar ketimbang manusia. Disemainya di pekarangan atau lahan-lahan telantar. Wajar rasa kepemilikan tuan-tuan terhadapnya rendah.
Pada akhirnya ia menjadi milik dunia anak-kanak. Bunganya, buahnya, permainan, serta kreativitas yang dirangsangnya muncul. Termasuk, tentu saja, kenangannya. Manis buah manggopa, lebih manis kenangan main katemba-temba. (*)
Comments
Post a Comment