Skip to main content

Borombonga Makhluk Pemakan Api

Jagapati Pulau Selaksa Jati

Borombonga atau Laborombonga terakhir kali terdengar sekitar tahun 80-an.

Gergasi yang tinggal di hutan itu momoknya perlahan-lahan redup, seiring hilangnya sebagian besar kawasan hutan, menyusul perambahan besar-besaran tidak lama setelah hadirnya industri kayu pertama menjejak Pulau Muna tahun 1986.

Laborombonga digambarkan sebagai monster dan pembunuh. Kesukaannya memakan manusia dan bara api.

Keberadaannya sangat misterius.
Menurut warga setempat, siluman ini akan muncul dan terutama sekali sangat senang bila melihat ada perapian di tengah hutan. Ia menjadi momok bagi para pencari kayu bakar dan pengolah hasil hutan.

“Biasanya ia menyaru binatang langka. Banyak ditemui pada permukiman baru. Pada lahan-lahan yang baru dibuka, isu pertama yang kerap ditemui petani adalah selalu dihantui binatang-binatang aneh,” tutur La Ode Abi, orang tua yang tinggal tidak jauh dari tepi Hutan Warangga, Raha.

Tidak mengejutkan, sebab pembukaan lahan baru melibatkan aktivitas membabat dan membakar.

“Berkait itu, dalam masyarakat petani di Muna ada mengenal tradisi Kasalasa, sebuah ritus membuka lahan baru. Kepercayaaan secara turun temurun mengajarkan bahwa lahan baru sebelum dibuka sudah ada penghuninya. Ya, makhluk-makhluk halus. Salah satunya Laborombonga itu,” tambah La Ode Abi.

Kasalasa dilakukan dengan harapan agar tanaman dan anggota keluarga sang petani tidak dijahati makhluk halus. Ritus itu masih dilakukan hingga hari ini.

Filologi Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari, Prof La Niampe soal ini menjelaskan, Laborombonga berkenaan dengan dunia metafisika.

“Manusia biasa memiliki lima indra, namun ada orang tertentu yang memiliki indra keenam. Nah, yang memiliki indra keenam inilah yang bisa dan pernah melihat Laborombonga, tanpa terluka,” kata La Niampe.

“Setiap daerah memiliki Laborombonga-nya sendiri, hanya namanya yang berbeda-beda. Laborombonga di Kabupaten Muna mungkin berbeda dengan gergasi di daerah lain. Di Kabupaten Wakatobi, misalnya, masyarakatnya mengenal horor Untu Waode. Makhluk yang selalu menghantui terutama di daerah-daerah tempat pemijahan ikan.”

Pulau Muna merupakan satu dari dua pulau besar di kaki Sulawesi Tenggara dengan luas 2.889 kilometer persegi. Sebagian besar hutannya adalah jati. Kelimpahan hutan jati membuat daerah ini pernah dijuluki Kota Jati.

Kehadiran perusahaan kayu pertama di Muna, PT Amboina segera disusul perusahaan-perusahaan sejenis.

Dan, hanya dalam tempo 10 tahun bertolak dari tahun 1986, hutan jati seluas kurang lebih 60 ribu hektare tinggal berbilang ribuan hektare.

Kondisi terkini, tahun 2013, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna Drs H Haris mengungkapkan total luas kawasan hutan 94 ribu hektare.

“Hampir semua rusak,” Haris membenarkan.

Terdapat dua versi mengenai keberadaan jati di Muna. Ada yang menyebut bibit jati dibawa oleh Belanda.

Menilik buku “De Exploitatie Jatibochen of Moena”, pada sekitar abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda melakukan penanaman dan eksploitasi jati secara secara besar-besaran di Muna.

Tetapi, ada pula yang berpendapat bibit jati dibawa oleh salah seorang Raja Muna sebagai hadiah sepulang dari pertemuan para raja di tanah Jawa. Itu jauh sebelum era penjajahan Belanda.

Oleh masyarakat Muna waktu itu belum diketahui apa manfaatnya. Ditanam saja. Mungkin itu sebabnya kayu jati dalam bahasa Muna dinamakan Kuli Dawa atau Kau Dawa yang berarti kayu dari Jawa. 

Menyimak pohon jati tertuta yang berdiri di Cagar Alam Tampo kurang lebih 30 kilometer dari Kota Raha, hasil penelitian para ahli mendapati sebatang pohon jati sebesar lima pelukan lelaki dewasa itu sedikitnya telah berusia 400 tahun.

Artinya, ia hidup sejak abad ke-16. Tempo itu, Muna berada di bawah pemerintahan Raja Lakilaponto.

Seiring lenyapnya hutan, cerita Laborombonga kehilangan pentas. Di samping itu, ikram terhadap Laborombonga  meluntur, karena tidak ada sesuatu yang terjadi terhadap para penjarah hutan.

Justru sebaliknya, pengusaha kayu semakin perlente dan kaya raya. Dimana Laborombonga?

Keangkeran Bersalin Rupa Bencana

Banyak orang yang kecewa terhadap Laborombonga karena tidak hadir saat mesin industri menduduki hutan, lantas menyimpulkan Laborombonga memang takhayul semata. Sebuah pelarian yang cukup menghibur hati.

Cerita Laborombonga semenjak itu tidak pernah disebut-sebut lagi. Seperti halnya lidah masyarakat mulai kelu menyebut Kota Jati.

Benarkah para pelaku illegal logging tidak dihantui Laborombonga?

“Bagaimana mau takut, hutan waktu itu seperti pasar ramainya,” ungkap seorang warga Tampo, Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna, M Amin Baharudin atau akrab disapa Amin.

Ia menuturkan, tahun 90-an adalah puncak euforia perburuan jati. Waktu itu hutan makin terang, pohon jati sedikit lagi habis. Masyarakat yang sebelumnya hanya diam menonton merasa jikalau demikian adanya mereka tidak bakal kebagian.

Begitulah, semua orang serta-merta melibatkan diri ke dalam hutan. Tidak siang tidak malam, anan-anak pun  ibu rumah tangga membaur dalam Pesta Mendulang Emas Hijau.

“Masyarakat biasa, oknum petugas entah itu baju coklat, baju hijau, semua ada di dalam. Makanya, waktu ada tim penertiban hutan, masyarakat melawan. Siapa mau tangkap siapa?” kenangnya.

Menurut pakar Filologi Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari, Prof La Niampe, kampanye dan penghormatan terhadap Laborombonga adalah sebuah cara tradisional untuk memberi pengajaran, bahwa manusia merupakan bagian integral dengan makhluk lain dalam sebuah mesin semesta bernama alam.

Dikatakan, hampir semua kebudayaan tradisional di dunia ini menciptakan aturan adat demi kemaslahatan bersama, dengan meletakkan sinergisme serta kesimbangan antara masyarakat dan alam sekitarnya.

Aturan itu dinamakan pemali atau tabu. Pemali diundangkan dan disosialisasikan dalam bentuk cerita rakyat. Menjadi kepercayaan kolektif yang disepakati bersama-sama.

Karifan dari pesan cerita ditanamkan dalam bentuk godaan-godaan berpikir serta rasa ingin tahu, sampai suatu saat anak cucunya kelak dewasa dan ilmu pengetahuan telah mencapai mereka.

“Di masa lampau, terjadi ketidak mampuan pengetahuan menembus ilmu pengetahuan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, sebuah pengetahuan hanya mengandalkan kepercayaan dan perasaan, sehingga takut atau patuh dalam konteks ini adalah percaya tanpa harus mempelajari lagi,” papar La Niampe.

“Dalam masyarakat Muna yang lebih tradisional lagi, mereka memercayai banyak tuhan. Dan, Laborombonga merupakan salah satu tuhan yang digelar Dewa Penghancur,” sambung dia.

Apa pun kenyatannya, sekiranya Laborombonga memang ada atau sengaja diada-adakan pitarah orang Muna, horornya telah berhasil menjaga keselamatan kawasan hutan dari penebangan yang rakus dan dari kebakaran-kebakaran.

Ia mengawal kelestarian hutan terutama hutan di Muna selama ratusan tahun, setidaknya sampai di pengujung abad ke-20.

Sebuah era yang mencetuskan berbagai pengungkapan ilmiah mengenai sesuatu yang di masa lalu berselimut misteri.

Dewasa ini, telah sampai satu lagi kabar ilmu pengetahuan oleh hasil penelitian sainstik modern bahwa hutan tidak sekedar menjaga plasma nutfah, melainkan juga berperan mengendalikan gas karbon.

Louis Verchot, peneliti Centre of International Forestry Research (CIFOR) memberikan rinciannya.

Pohon menyimpan karbon organik biar tidak lepas ke atmosfir secara berlebihan, yang dapat menciptakan efek rumah kaca. Suatu emis gas yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemanasan global.

“Saat anda membakar pohon, 50 persennya adalah karbon,” kata dia, dalam workshop REDD+ dan Peran Lahan Basah, sebuah pelatihan untuk jurnalis yang pernah diikuti wartawan koran ini di Bali pada April 2011 silam.

Sesuai hasil penelitian pada tahun itu, 10 besar negara yang berkontribusi terhadap emsi gas, Indonesia menduduki peringkat kelima.

Juli 2013 terjadi anomali cuaca yang menimbulkan curah hujan ekstrem di Indonesia. Sejumlah daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dilanda banjir, termasuk Kabupaten Muna.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kendari menerangkan, peristiwa ini disebut fenomena Lanina. Yaitu munculnya suhu muka laut yang hangat di Samudera Pasifik, dampak pemanasan global.

“Jikalau Laborombonga diletakkan dalam perspektif Dewa Penghancur maka ia  bisa saja hadir dalam bentuk banjir, longsor, atau kekeringan. Jadi, dia tidak kemana-mana,” ucap Prof La Niampe. (*)

Baca Juga:
Sketsa 80-an: Raha Sekilas
Haroa di Raha 1990
Main Tembak-Tembak Peluru Manggopa


Comments

Popular posts from this blog

Katimboka: Layangan Pertama di Dunia

Peneliti layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck, saat memulai penelusurannya pada 1997 mendapati semua literatur menunjuk Cina rumah kelahiran layang-layang dunia. Mengambil tonggak 2800 tahun lalu Cina telah menerbangkan layangan terbuat dari sutra dan bambu emas sebagai bingkainya. Penggalian lebih jauh mempertemukan Wolfgang dengan layang-layang di Asia Tenggara yang lebih primitif. Terbuat dari daun. Baca Juga: Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope Persepsinya mengenai layang-layang terdamprat. Dari situ dia mulai membuka jalur baru pemetaan asal muasal layang-layang, menggunakan pendekatan teori evolusi. Wolfgang Bieck mengungkapkan hal ini kepada penulis, saat Festival Layang-Layang Internasional 2006 yang diselenggarakan di Kabupaten Muna, satu pulau kecil di Indonesia. Ia menaruh purbasangka, layang-layang sutra hanya mata rantai berikut dari evolusi layang-layang, suatu pengembangan dari layang-layang daun. Persoalannya sekarang, di Asia Tenggara teru...

Pesan Geologi Berusia 1,8 Juta Tahun untuk Kabupaten Muna

Muna sebagai kabupaten usianya tahun ini 65 tahun, sebagai kerajaan umurnya menginjak 814 tahun, sebagai sebuah pulau usianya menurut Kementerian ESDM terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.  Ilustrasi pengangkatan Pulau Muna Muna 1 Juli 1959 mekar jadi kabupaten. Sama-sama mekar dengan Kecamatan Kendari, Buton, dan Kolaka saat Sulawesi Tenggara resmi terbentuk jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebelumnya Sulsel dan Sultra digabung jadi satu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Sejauh 2024 Muna sudah melahirkan 2 anak, yaitu Kabupaten Buton Utara yang dimekarkan pada 2 Januari 2007 dan 7 tahun kemudian tepatnya 23 Juli 2014 memekarkan Kabupaten Muna Barat. Terbersit rencana pemekaran dua wilayah lagi, Kota Raha dan Muna Timur.  Muna adalah nama suku yang mendiami satu dari dua pulau besar berdampingan di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, Pulau Muna. Dan di sebelahnya Pulau Buton.  Secara administratif Muna berbagi tempat d...

Petunjuk Jalan Keliling Daerah Sulawesi Tenggara

Wakatobi hanya satu dari 4 pulau mayor di Sulawesi Tenggara yang memendam harta karun objek wisata alam yang eksotis. Mulai dari bawah laut, tepi pantai, hutan, sungai, air terjun, laguna, flora dan fauna endemik, gua purba, menara kars, hingga di angkasanya masih beterbangan burung langka dan layang-layang pertama di dunia, adalah semua apa destinasi wisata yang orang butuhkan, ada di jazirah ini. Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 17 kabupaten/kota, secara rinci 2 kota dan 15 kabupaten. Sebagian daerah-daerah itu berdiam di daratan utama Sulawesi dan sebagian tersebar di kepulauan. Persisnya 8 daerah di daratan dan 9 daerah di kepulauan. Wilayah Daratan Sebanyak 8 daerah di daratan adalah: Kabupaten Kolaka ibu kotanya Kolaka Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) ibu kotanya Wanggudu Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) ibu kotanya Tirawuta Kabupaten Konawe ibu kotanya Unaaha Kabupaten Konawe Utara (Konut) ibu kotanya Lasusua Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) ibu kotanya Andoolo Kota Kendari...