Kota Baubau pernah jadi ibu kota Sulawesi Tenggara (Sultra) selama 7 tahun. Itu terjadi di awal kemerdekaan Indonesia.
Baubau berada di Pulau Buton, salah satu pulau dari 4 pulau mayor di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, di samping Muna, Kabaena, dan Wakatobi. Buton juga dikenal dengan nama Wolio adalah satu dari 4 suku besar yang mendiami Sultra.
![]() |
Benteng Keraton Buton |
Pemerintahan proklamator Indonesia, Ir Soekarno, ketika menetapkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan pada 1952 membentuk Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra) dengan ibu kota Makassar dan memasukkan Sultra sebagai salah satu kabupatennya. Ibu kota Kabupaten Sultra diletakkan di Baubau. Drs H La Ode Manarfa sebagai bupatinya.
Status ibu kota kabupaten disandang Baubau sampai 1959 manakala Kabupaten Sultra mekar menjadi 4 daerah otonom, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari, dan Kabupaten Kolaka. Baubau kemudian menjadi ibu kota Kabupaten Buton.
Menjadi ibu kota bagi Baubau bukan sesuatu yang baru. Pada zaman penjajahan, Baubau sudah dijadikan ibu kota oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda mulai menetap di Kota Baubau setelah Perjanjian Asyikin Brugman pada 8 April 1906, menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
Sebelum itu, sebenarnya Buton sebagai salah satu kerajaan di Nusantara sudah berhubungan dengan VOC sejak 5 Januari 1613, namun dalam hubungan yang setara. Sebuah hubungan persekutuan dagang. Bertolak dari Perjanjian Asyikin Brugman itulah ada cita rasa kolonialisme dalam hubungan Belanda-Buton.
Pemerintah Hindia Belanda pada 24 Februari 1940 membentuk afdeling Boeton Laiwoi di jazirah tenggara Sulawesi, dengan pusat pemerintahan di Baubau. Afdeling Boeton Laiwoi terdiri atas onder afdeling Boeton ibu kotanya Baubau, onder afdeling Muna ibu kotanya Raha, dan onder afdeling Laiwoi ibu kotanya Kendari.
Pada zaman pendudukan Jepang 1942-1945, untuk alasan keamanan karena Perang Dunia II sedang berkecamuk, ibu kota dipindahkan dari Baubau ke Kendari. Jepang mengobarkan perang dengan Sekutu di Asia Pasifik, salah satunya merebut daerah kekuasaan Hindia Belanda sebagai salah satu anggota Sekutu, di samping Amerika Serikat, Inggris, Australia.
Pun sebelum era kolonialisme, Baubau merupakan pusat Kerajaan/Kesultanan Buton, yang menurut portal resmi Pemerintah Kota Baubau, berdiri sejak 1332 dan eksis sampai 1960, kurang lebih 628 tahun. Memerintah pertama kali di Kerajaan Buton adalah Ratu Wakaaka. Sebanyak 6 orang raja setelah itu berkuasa sampai Buton menjadi kesultanan.
Mekar dari Buton
Juni 2001 Baubau mendapatkan status otonomi dari Pemerintah Kabupaten Buton untuk berdiri menjadi sebuah kotamadya. Buton selanjutnya berpindah ke Pasarwajo dan membuat pusat pemerintahannya di sana. Jika kebanyakan daerah menjadikan momentum pemekaran sebagai hari jadi, Baubau tidak.
Pemerintah Kota Baubau memilih 17 Oktober 1541 sebagai hari jadinya, mengambil momentum peralihan status dari Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton yang ditandai dengan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Peralihan ke model kesultanan terjadi seiring masuknya Islam di Buton dan diterima dengan baik oleh raja pada saat itu, Lakilaponto.
Lakilaponto mengubah Kerajaan Buton menjadi kesultanan dan dia menjadi Raja Buton terakhir sekaligus Sultan Buton pertama.
Pria yang satu ini sejarah hidupnya agak unik. Ia menjadi Raja Buton pun dengan cara yang tidak biasa.
Dia pada mulanya adalah Raja Muna ke-7. Entah bagaimana Lakilaponto ikut sayembara Kerajaan Buton, "Barang siapa bisa membunuh bajak laut La Bolontio yang sudah sangat meresahkan kehadirannya akan diangkat menjadi Raja Buton". Dan dia berhasil.
Lakilaponto kemudian dilantik jadi Raja Buton ke-6 sedangkan mahkota kekuasaannya di Muna diserahkan pada adiknya, La Posasu.
Tercatat sebanyak 38 sultan pernah memerintah Kesultanan Buton, ditutup oleh Sultan La Ode Muhammad Falihi.
Akrabnya Baubau dengan status ibu kota dari beragam model pemerintahan, tidak heran Baubau mempunyai banyak peninggalan sejarah baik benda maupun tak benda. Mulai dari peninggalan kerajaan, kesultanan, pemerintah Hindia Belanda, Jepang, hingga peninggalan Kabupaten Sultra dan Kabupaten Buton. Semua itu kekayaan yang tak ternilai harganya. (*)
Comments
Post a Comment