Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kolaka ditetapkan bagian dari afdeling Luwu, Sulawesi Selatan, tulis portal resmi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tugu Tani Kolaka |
Afdeling Luwu meliputi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao, dan Kolaka. Afdeling Luwu beribu kota di Palopo.
Sedangkan di Sulawesi Tenggara, Hindia Belanda membentuk afdeling Boeton Laiwoi yang terdiri atas onder afdeling Buton, onder afdeling Laiwoi, dan onder afdeling Muna. Ibu kota diletakkan di Baubau.
Pada masa penjajahan Jepang 1942-1945, mengingat perhubungan darat yang lebih dekat antara Kolaka dan Kendari, dibandingkan antara Kolaka dengan Palopo melalui laut, maka Kolaka Bunken dimasukkan ke dalam taktis Kendari Bunken.
Tapi hanya dalam rangka tugas-tugas pemerintahan umum, sedangkan menyangkut tugas-tugas swapraja tetap berhubungan dengan Swapraja Luwu di Palopo, demikian portal resmi Kabupaten Kolaka menjelaskan lebih jauh.
"Dengan dimasukkannya Kerajaan Mekongga ke dalam Swapraja Luwu, maka untuk mengkoordinasi daerah ini Raja Datu Luwu menempatkan seorang duta/pejabat selaku pembantu datu dengan sebutan Sulewatang Ngapa," tulis laporan itu.
Ketika Indonesia merdeka, pemerintahan Soekarno pada 1952 menggabungkan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara menjadi satu provinsi bernama Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra) di mana Sulawesi Tenggara menjadi salah satu kabupatennya.
Provinsi Sulselra ibu kotanya Makassar, sedangkan Kabupaten Sultra ibu kotanya Baubau.
Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi semua wilayah bekas afdeling Boeton Laiwoi ditambah satu wilayah bekas afdeling Luwu yaitu onder afdeling Kolaka.
Jadilah Kabupaten Sultra definitif terdiri atas 4 kecamatan yaitu Kecamatan Buton, Kecamatan Muna, Kecamatan Kendari, dan Kecamatan Kolaka.
Tujuh tahun kemudian, Kolaka dan tiga kecamatan lainnya naik status menjadi kabupaten seiring pemekaran Sulawesi Tenggara menjadi 4 daerah otonom pada 1959.
Sekilas Kerajaan Luwu
Menurut sejumlah literatur, sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula.
Sebelumnya, Tana Luwu adalah tempat asal mula munculnya peradaban di Sulawesi Selatan. Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso.
Kolaka Pernah Jadi Ibu Kota Kedatuan Luwu
Portal resmi Kabupaten Luwu menuturkan, dalam dinamika perkembangan sejarah Kedatuan Luwu, Were’ (watampare) atau ibu kota sebagai pusat pengendalian pemerintahan Kedatuan Luwu telah berpindah tempat beberapa kali, antara lain pertama ke Manjapai di Kolaka (sekarang wilayah Kabupaten Kolaka Utara), kedua Cilallang Kamanre Kecamatan Kamanre, ketiga di Patimang Kecamatan Malangke, dan keempat atau terakhir di Palopo.
Group Maddika Bua
Masih dari laporan itu mengemukakan, oleh karena tuntutan kebutuhan pemerintahan Kedatuan Luwu, maka sebelum abad ke-16 Masehi diadakan reorganisasi sistem pemerintahan Kedatuan Luwu yang membentuk tiga wilayah besar yang dipimpin oleh anak Tellue, Kolaka salah satunya.
Kolaka masuk dalam wilayah yang disebut Maddika Bua dipimpin oleh Opu Maddika Bua, meliputi Kecamatan Bua, Bastem, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Kolaka Utara, dan Walenrang-Lamasi.
Kerajaan Mekongga
Kolaka saat ini adalah bekas Kerajaan Mekongga.
Rumah Adat Kolaka |
Portal resmi Pemkab Kolaka menulis, dahulu wilayah Kerajaan Mekongga disebut Wonua Sorume (Negeri Anggrek), karena wilayah ini dikenal sebagai tempat tumbuhnya berbagai jenis Anggrek.
Nama Mekongga baru digunakan setelah kerajaan tersebut terbentuk dengan maksud mengabadikan peristiwa terbunuhnya Kongga Owose (burung elang raksasa) oleh Sangia Larumbalangi, Raja Pertama Kerajaan Mekongga.
Kisahnya sebagaimana dituturkan dalam portal itu, dimulai dengan Sawerigading, salah seorang cucu Batara Guru, yang diutus oleh para dewata datang ke dunia untuk memerintah dan mendirikan kerajaan-kerajaan.
Cucu penguasa langit tersebut diturunkan ke Luwu yang kemudian menyebar ke beberapa wilayah lain, termasuk wilayah Sulawesi Tenggara yang dikenal Luwu dengan nama Tana Alau (Negeri di Timur) karena merujuk pada wilayah yang terletak di tempat mereka melihat matahari tersebut di pagi hari.
Pada zaman Sawerigading (diperkirakan abad ke-14), Larumbalangi salah seorang keluarga dekat Sawerigading berangkat ke Tana Alau untuk mendirikan kerajaan baru.
Dalam perjalanannya ke arah timur kemudian menetap dan bermukim di Kolumba (Ulu Balandete) lalu mendirikan Kerajaan Mekongga. Di wilayah tersebut sebelumnya telah didiami oleh masyarakat yang menyebut dirinya Orang Tolaki yang berarti orang-orang pemberani.
Pada awal masa pemerintahan Larumbalangi, di wilayah Kerajaan Mekongga terdapat gangguan dari seekor burung raksasa (sejenis burung elang) yang dalam bahasa Tolaki disebut Kongga.
Kepanikan terjadi di mana-mana, jika burung tersebut menampakkan diri. penduduk dapat dipastikan mengalami kerugian yang sangat besar bahkan tidak sedikit korban jiwa manusia disambar oleh burung tersebut jika tidak menemukan rusa, babi atau binatang lain yang dapat dimangsanya.
Dalam situasi horor seperti ini, dengan segala keperkasaan, keberanian, dan kesaktian seorang cucu Dewata, Larumbalangi turun tangan memberikan petunjuk agar para penduduk secara bersama-sama memberikan perlawanan terhadap burung ganas tersebut.
Secara bahu membahu antara warga dengan pimpinannya berusaha memancing datangnya burung itu, hingga akhirnya datanglah sang angkara hendak menyambar korbannya, namun disambut dengan satu lemparan tombak (sungga) dari Larumbalangi yang tepat menancap di bagian jantung burung raksasa tersebut.
Kemudian secara beramai-ramai warga menyusul menancapkan bambu runcingnya hingga burung Kongga mati kehabisan darah.
Lokasi terbunuhnya Kongga adalah suatu bantaran sungai yang sekarang disebut Lamekongga.
Berdasar pembentukan kata, makna kata La berarti bantaran sungai, sedangkan Kongga merujuk pada nama burung elang raksasa itu. (*)
Comments
Post a Comment