Provinsi Sulawesi Tenggara setidaknya punya 5 bandar udara (bandara) komersial. Ada bandara peninggalan Belanda dan Jepang kemudian dikembangkan lebih jauh, yaitu Bandara Haluoleo Kendari dan Bandara Sugimanuru Muna Barat. Ada pula bandara yang dibangun belum lama berselang setelah Indonesia merdeka.
Apa pertimbangan militer Jepang begitu banyaknya tempat di Sulawesi Tenggara mengapa memilih Pulau Muna untuk membangun satu landasan udara lagi, di samping Landasan Udara Kendari yang sudah ada dibangun Belanda? Perlu penelusuran lebih jauh oleh sejarawan dan arkeolog.
Lepas dari tanda tanya itu, berikut 5 bandara di Sultra disusun berdasarkan urutan tahun kelahirannya.
1. Bandara Haluoleo
Bandara Haluoleo kurang lebih 27 kilometer dari Kota Kendari merupakan peninggalan Belanda. Beberapa kali sudah ia berganti nama, mulai dari Lapangan Terbang Kendari II, Bandara Wolter Monginsidi, dan terbaru Bandara Haluoleo.
Saat pendudukan Jepang, Lapangan Terbang Kendari II dijadikan pangkalan angkatan udaranya. Sejarah mencatat, Teluk Kendari merupakan salah satu pangkalan militer tentara Jepang saat terjadi Perang Pasifik pada 1942-1943. Tidak heran banyak peninggalan militer di wilayah ini dan sangat lengkap.
Analisis militer mengungkapkan, Lapangan Udara Kendari II letaknya sangat strategis, merupakan jalur aman dan paling dekat untuk menyerang musuh yang berada di wilayah Samudera Pasifik.
Menurut buku ”Jejak Arkeologi Perang Pasifik di Situs Lapangan Terbang Kendari II, Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara” yang ditulis M. Irfan Mahmud dan Syahruddin Mansyur, di halaman ”Sejarah Situs Lapangan Terbang Kendari II” disebutkan:
- Zaman Hindia Belanda. Belanda membangun bandara pada 1936. Pendaratan pertama pesawat Angkatan udara Belanda dilakukan pada 7 Oktober 1938.
- Zaman Jepang. Jepang menyerang dan mengambil alih bandara dari Belanda pada 24 Januari 1942.
- Zaman kemerdekaan. Oktober 1950 pendaratan pesawat AURI pertama kali,
- Pada 27 Mei 1958 pemerintah Indonesia mengubah namanya menjadi Pangkalan TNI AU Wolter Monginsidi.
- Pada 1975 penambahan fungsi sebagai pelabuhan udara untuk pesawat sipil komersial dan berganti nama menjadi Bandara Wolter Monginsidi Kendari.
- Pada 13 Februari 2010 berganti nama menjadi Bandara Haluoleo.
Nama Bandara Haluoleo berubah di era Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Haluoleo merupakan nama kesatria Konawe di masa silam.
"Karena Haluoleo merupakan tokoh pemersatu sebagai mana kajian sejarawan, Haluoleo berarti trimurti dari Lakilaponto di Kabupaten Muna, Murhum di Kabupaten Buton, sehingga lengkaplah sudah bingkai persatuan elemen masyarakat Sultra di bawah sebutan Haluoleo,” jelas Nur Alam, di hadapan seluruh civitas akademika Unhalu (saat ini UHO), saat menghadiri acara wisuda program sarjana, di Auditorium Unhalu, 21 Maret 2009.
2. Bandara Sugimanuru
Bandara Sugimanuru berada di Pulau Muna, dibangun Jepang di masa Perang Asia Timur Raya 1942-1945. Sepeninggal Jepang ia tidak terurus dan telantar. Sugimanuru diambil dari nama Raja Muna ke-6.
Era kemerdekaan, Dinas Perhubungan setempat mengungkapkan, pada masa Kabupaten Muna dipimpin Bupati La Ode Saafi Amane (1981-1986), bandara ini pada 1984 direvitalisasi menjadi bandara penghubung antardaerah di Sulawesi Tenggara. Sebuah pesawat jenis Cassa dioperasikan melayani rute Makassar-Baubau-Muna.
Namun tidak berlangsung lama, karena beberapa faktor di antaranya lahan bandara belum memiliki sertifikat yang sah, tidak memiliki batas lahan yang jelas, dan tidak memiliki pagar keliling menyebabkan hewan ternak bebas masuk di area bandara yang dapat mengancam keselamatan maskapai yang beroperasi. Masalah tanah ini panjang ceritanya dan baru selesai pada 1993.
Pada 2010 era Bupati Muna Ridwan Bae, sebelum Kabupaten Muna memekarkan Muna Barat, bandara kembali beroperasi dengan pesawat ATR 72-600, tapi tak lama kemudian berhenti lagi.
Saat terjadi pemekaran daerah, bandara Sugimanuru masuk wilayah administrasi Muna Barat. Pada 2017 era Bupati Muna Barat Rajiun Tumada bandara kembali dioperasikan, setelah landasan pacunya ditambah serta dilengkapi dengan terminal penumpang. Bandara mula-mula melayani rute penerbangan Muna-Makassar pergi pulang. seiring zaman dia terus berkembang.
Bandara Sugimanuru dari ibu kota Kabupaten Muna, Raha, hanya kurang lebih 25 kilometer (km) atau dapat ditempuh kurang lebih 30 menit. Demikian pula dari Kabupaten Buton Tengah hanya berjarak kurang lebih 20 km atau dapat dijangkau sekitar 25 menit.
3. Bandara Betoambari
Bandara yang berada di Pulau Buton tepatnya di Kota Baubau ini dibangun 1976, sebagai bandara perintis.
Setelah sempat telantar dan nyaris tidak dipakai, pada 2001 landasan bandara ditingkatkan.
Akhir 2003 sebuah penerbangan swasta menyinggahi bandara ini dengan pesawat yang berkapasitas 54 tempat duduk. Mula-mula, Bandara Betoambari Baubau melayani peberbangan komersial Baubau-Kendari dan Baubau-Makassar dan sebaliknya. Seiring zaman ia terus dikembangkan.
4. Bandara Sangia Nibandera
Bandar Udara Sangia Nibandera Kolaka mulai dibangun pada 2006 dengan dana APBN Kementerian Perhubungan, dengan runway eksisting berdimensi 700 M x 18 M.
Dan pada 2008 dilakukan penerbangan perdana oleh Bapak Bupati Kolaka Buhari Matta dan rombongan menggunakan pesawat Susi Air.
Sejak itu fasilitas bandara terus dikembangkan hingga pada 2013 Bandara Sangia Nibandera sudah beroperasi untuk penerbangan komersial, mula-mula melayani rute Kolaka-Makassar pergi pulang. seiring zaman, dia terus dikembangkan.
5. Bandara Matahora
Bandara Matahora Wakatobi |
Dibangun pada 2007, Bandara Matahora Wakatobi diresmikan 21 Mei 2009, penerbangan pertama Kendari-Wakatobi dilayani armada pesawat Susi Air.
Sepanjang 2011-2016 Pemkab Wakatobi bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan mengembangkan bandara sehingga bisa didarati pesawat berbadan besar.
Sejak 2012 ia mulai didarati Wings Air, mula-mula melayani rute Wakatobi-Kendari pergi pulang. Seiring zaman, dia terus dikembangkan. (*)
Comments
Post a Comment