Skip to main content

Status Muna terhadap Buton

Perjanjian Lakilaponto dan La Pusaso

Tulisan berikut ini dinukil mentah-mentah dari Buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna sebagaimana kalimat Jules Couvreur sendiri:


Muna, yaitu daerah yang terdiri atas 4 ghoera dulu dan kini merupakan wilayah kekuasaan Omputo Kino Wuna, disebut bharata Buton. Bharata berarti daerah taklukan (wingewest). Namun penjelasan yang saya peroleh membantahnya.

Pada hakikatnya Buton menganggap Muna sebagai daerah taklukannya. Sebenarnya daerah taklukan adalah daerah yang direbut atau dikalahkan, sedangkan sejarah tidak pernah menyebut sesuatu kemenangan Buton atas Muna.

Berhubungan dengan itu, maka langsung timbul pertanyaan sebagai berikut. Bagaimana bisa terjadi beberapa tokoh Buton dapat diangkat sebagai Raja Muna? Bagaimana juga terkadang Syarat Muna memohon bantuan dan persetujuan dari Sultan Buton untuk diizinkan mengangkat seorang tokoh Buton menjadi Raja Muna?

Jawaban atas pertanyaan di atas telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada perjanjian antara Lakilaponto (Murhum) sewaktu dia menjabat sebagai Lakina Wolio dengan adiknya La Pusaso yang menggantikannya di Kerajaan Muna.

Mereka berjanji akan saling menginformasikan tentang kesulitan yang dihadapi, serta saling membantu apabila berada dalam kesulitan.

Sejak itulah sistem hubungan kakak beradik antara Buton dan Muna tetap berlangsung.

Berdasarkan hubungan kekeluargaan inilah maka beberapa kali Syarat Muna meminta bantuan "kakaknya" dalam kesulitan pencalonan dan pengangkatan Omputo Kino Wuna.

Berdasarkan hubungan ini pula, Sultan Buton beberapa kali telah turun tangan dalam perselisihan antara Omputo Kino Wuna dan Syarat Muna atau dengan para kapitalao.

Namun turun tangan ini baru terjadi setelah Omputo Kino Wuna atau Syarat Muna meminta bantuan kepada Sultan, sebagaimana jelas dari sejarah. 

La Ode Kaindea dan La Ode Pontimasa

Dari beberapa kejadian berikut ini maka mungkin dapat disimpulkan bahwa Muna pernah ditaklukan Buton, yaitu:

1. Tertangkapnya La Ode Kaindea oleh orang-orang Buton.

2. Diangkatnya La Ode Pontimasa, Kapitalao Wawoangi di Buton menjadi Omputo Kino Wuna.

Namun sejarah selanjutnya membuktikan bahwa peristiwa ini sama sekali tidak merupakan taklukan. Dengan kata lain, Muna tidak pernah menjadi daerah taklukan Buton.

La Ode Kaindea sebenarnya ditangkap dengan tipu muslihat.

Ia berperang melawan Sapati Baluwu di Buton yang ingin menaklukan Muna dan mengangkat seorang Omputo Kino Wuna yang lain.

Pada mulanya La Ode Kaindea sedang menang, tapi setelah Buton memperoleh bantuan dari Belanda maka La Ode Kaindea harus mundur.

Kemudian, armada Buton yang diperkuat dengan beberapa kapal Belanda muncul di dekat Pulau Lima yang letaknya di depan Lohia.

Di atas kapal itu diadakan pesta pora dan dikirim beberapa utusan menemui La Ode Kaindea, dengan membawa berita bahwa peperangan akan dihentikan dan mereka hendak berdamai.

La Ode Kaindea diundang untuk menghadiri pesta armada tersebut.

Mula-mula La Ode Kaindea meragukan hal itu, namun akhirnya ia terpengaruh untuk pergi.

Begitu tiba di Pulau Lima, ia segera ditangkap dan dibawa ke Buton.

(Ada pula cerita bahwa La Ode Kaindea tidak dibawa ke Buton tapi dianggap tawanan Belanda lalu dikirim ke Ternate).

Namun setelah beberapa waktu, ia dibebaskan dan kemudian menjabat lagi sebagai Omputo Kino Wuna. 

Kisah Wa Ode Kamomono Kamba

Cukup lama setelah perang La Ode Kaindea dan Sapati Baluwu di Buton, terjadilah peristiwa La Ode Pontimasa.

Omputo Kino Wuna masa itu La Ode Huseini adalah putra Omputo Kino Wuna La Ode Tuga dengan istrinya Wa Ode Sope.

Wa Ode Sope adalah putri Sapati Baluwu.

Ayah La Ode Pontimasa termasuk keluarga Wa Ode Sope (barangkali sepupunya).

Dari perkawinan La Ode Huseini dengan Wa Ode Sope lahirlah seorang putri yang bernama Wa Ode Kamomono Kamba.

Ia mempunyai 2 orang peminang, yaitu La Ode Pontimasa dan putra Lakina Bungku, yang pada waktu itu masih dikuasai Ternate.

Namun Omputo La Ode Huseini tidak ingin menikahkan putrinya, karena mempunyai kelainan. (Ia bukan seorang wanita, juga bukan seorang lelaki).

Karena malu, Omputo La Ode Huseini tidak berani membuka keadaan ini pada para calon suami.

La Ode Pontimasa yang dahulu dibesarkan di rumah keluarga La Ode Huseini, sangat mendesak sehingga lamarannya akhirnya diterima juga, dengan syarat bahwa Wa Ode Kamomono Kamba harus terlebih dahulu menjalani acara Karia.

Sesuai kebiasaan adat maka Wa Ode Kamomono Kamba dipingit selama 44 hari dalam kamar gelap. Pada suatu hari dia ditemukan dalam keadaan mati, dalam kamar tersebut.

La Ode Pontimasa menuduh Omputo La Ode Huseini yang mendalangi kematian kekasihnya dan mengancam dengan suatu peperangan apabila La Ode Huseini tidak mempertanggungjawabkan kematian calon istrinya itu.

Persoalan keluarga ini berlangsung selama 2 tahun dan akhirnya La Ode Pontimasa berangkat menuju Muna dengan membawa serta pasukannya.

Baik Syarat Muna maupun La Ode Huseini yang sudah tua tidak berniat melawan La Ode Pontimasa.

La Ode Huseini kurang lebih karena dipaksakan Syarat Muna, melapas jabatannya sebagai omputo. Setelah itu jabatan ini ditawarkan pada La Ode Pontimasa oleh Syarat Muna demi menghindari peperangan.

La Ode Pontimasa menerima tawaran tersebut dan setelah berdiam selama 40 hari di Muna, ia kembali ke Buton dan membawa serta salah satu perhiasan kerajaan. Yaitu, satu pengikat kepala dari emas.

Menurut cerita, La Ode Huseini menasihati La Ode Pontimasa waktu itu agar bila kembali ke Buton jangan sekali-kali mengumumkan bahwa ia telah merebut pengikat emas itu karena akan mengakibatkan kematiannya.

Tidak lama setelah La Ode Pontimasa ke Buton, ia meninggal. Lalu Syarat Muna berangkat ke Buton untuk mengambil kembali perhiasan tersebut.

Berdasarkan laporan, La Ode Pontimasa sewaktu kembali ke Buton tentang ditaklukannya Muna, maka Syarat Buton berpendapat bahwa ia berhak menunjuk calon Omputo Kino Wuna yang akan diangkat.

Hal ini ditolak oleh Syarat Muna dan menuntut pengembalian perhiasan kerajaan.

Tidak lama kemudian mereka kembali ke Muna membawa serta perhiasan kerajaan, dan diangkatlah putra La Ode Huseini yang bernama Haerum Baradhai sebagai Omputo Kino Wuna yang baru.

Apabila sejarah ini benar seperti yang dikisahkan pada saya, maka jelaslah bahwa pada saat itu pun Buton belum mempunyai kekuasaan atas Muna.

Andaikata Buton mempunyai kekuasaan itu, maka rencana pengangkatan calon mereka, yaitu Kapitalao Lawele sebagai Omputo Kino Wuna baru, pasti terlaksana, dan bila perlu dengan senjata. Dan pasti Syarat Muna tidak berani menolaknya. 

Laporan Gortmans

Dalam laporan Gortmans terdapat sebuah daftar tahunan tentang sejarah Muna dan Buton.

1654 Kedatangan Raja Ternate di Buton

1655 Direbutnya daerah Tiworo oleh Komandan Roos yang dibantu oleh Sultan Ternate.

1676 David Harthouwer, Gubernur Maluku singgah di Buton untuk menyelesaikan perselisihan antara Buton dengan Tiworo-Muna. Berangkat tanpa hasil.

1677 Robertus Padtbrugge, Gubernur Ternate tiba di Buton dengan maksud yang sama. Ia menghentikan permusuhan yang ada. Atas perintah Padtbrugge, Sultan Ternate Kaicili Sibori yang juga bergelar Pangeran Amsterdam, memgumumkan bahwa daerah Tiworo adalah daerah kekuasaan Ternate, dan sisanya Pulau Muna berada di bawah kekuasaan Buton.

1682 Sultan Buton merebut daerah Tiworo.

1799 Berita dari Sultan Buton bahwa ia telah menang dalam peperangan melawan Raja Mina. Raja Muna gugur.

1847 Pernyataan diperbaharui oleh Ternate bahwa dia melepaskan kekuasaannya atas daerah Tiworo dan Kulisusu.

Menurut saya, dari sekian banyak data yang terkumpul untuk menyusun laporan ini, tidak ada bukti yang meyakinkan saya untuk mengatakan bahwa dahulu kala Ternate menguasai dan memerintah daerah pimpinan Omputo Kino Wuna.

Setiap kali saya menanyakan hal itu, selalu dibantah. Tentang hal ini sama sekali tidak ada cerita lisan.

Pada tahun 1677 ternyata Ternate telah melepaskan suatu kekuasaan yang sebenarnya tidak mereka miliki. Hal seperti itu memang kadang-kadang terjadi dalam sejarah.

Sebagai contoh, dalam tahun 1799 Sultan Buton telah menang dalam perang melawan Muna. Waktu saya menanyakan tentang nama Raja Muna yang gugur waktu itu maka dijawab tidak ada pengetahuan tentang seorang Omputo Kino Wuna yang gugur dalam peperangan.

Andaikata berita ini benar, maka rupanya Buton belum juga mendapat kekuasaan atas Muna melalui peristiwa itu.

Karena kira-kira 100 tahun kemudian, Syarat Muna telah membuat suatu pertahanan yang kuat, sehingga La Ode Husin (Syahbandar Buton) yang diutus oleh Sultan Buton untuk menumpas Omputo La Ode Ahmad, tidak dapat mendarat di Pulau Muna. 

Akibat Peraturan Adat

Kembali pada pernyataan pertama, yaitu, bagaimana bisa terjadi beberapa tokoh Buton dapat diangkat menjadi Omputo Kino Wuna?

Jawabannya adalah, "Ini akibat peraturan adat".

Adat Muna menyatakan bahwa dalam hal penggantian jabatan, apabila tidak ada keturunan lelaki atau keluarga lelaki yang lain yang bisa diangkat, maka ditunjuk keturunan perempuan. Atau apabila tidak ada keturunan perempuan, keluarga perempuan yang lain.

Namun karena menurut adat tidak mungkin seorang perempuan diangkat menjadi omputo, maka suaminya harus menggantinya.

Apabila kami lihat daftar nama para Omputo Kino Wuna, jelas bahwa peraturan adat ini selalu diikuti.

Umpamanya, La Ode Haerum Baradhai diganti berturut-turut oleh kedua adiknya, yaitu La Ode Umara dan La Ode Murusali.

La Ode Umara adalah yang tertua. Setelah mereka berdua ini, rupanya tidak ada lagi keturunan lelaki yang dapat dicalonkan untuk mengganti La Ode Murusali.

Karena itu beralihlah pada keturunan perempuan.

Yang berikut adalah Wa Ode Aisa, putri La Ode Haerum Baradhai yang bersuamikan La Ode Tumowu, Kapitalao Lakologou di Buton. La Ode Tumowu kemudian diangkat menjadi Omputo Kino Wuna.

Begitupun yang terjadi pada waktu pengangkatan La Ode Ngkumabusi. Ia adalah putra Kino Lolibu di Buton. Ia menikah dengan cucu perempuan La Ode Huseini, yaitu putri La Ode Harisi, anak La Ode Huseini.

Perlu diketahui, La Ode Huseini punya 5 anak. Yaitu La Ode Haerum Baradhai, La Ode Umara, La Ode Murusali, La Ode Harisi, dan Zainulabudina, Kapitalao Lasehao.

Semuanya meninggal ada usia muda. Karea itu jabatan jatuh pada putri La Ode Harisi.

Sebenarnya Omputo Kino Wuna La Ode Huseini adalah Kapitalao di Buton. Ia adalah putra La Ode Tuga yang juga menjabat Omputo Kino Wuna.

Setelah La Ode Tuga meninggal, La Ode Huseini menggantikan ayahnya sebagai omputo. Jabatan kapitalao di Buton diperoleh melalui ibunya, Wa Ode Sope.

Hanya pengangkatan La Ode Malei yang tidak berdasarkan hubungan dengan kaum bangsawan di Muna.

Setelah meninggalnya Omputo La Ode Sumaeli, hanya ada satu calon pengganti Omputo Kino Wuna, yaitu La Ode Bulai, putra La Ode Ete.

Namun karena La Ode Bulai masih di bawah umur, padahal ada gejala-gejala keributan mengenai pencalonan dan pengangkatan omputo, maka Syarat Muna memohon bantuan dari Sultan Buton.

Mereka meminta agar ada orang yang bisa menjabat omputo sambil menunggu dewasanya La Ode Bulai. Untuk itu Sultan Buton menunjuk La Ode Malei.

Pada waktu La Ode Bulai mencapai kedewasaan, La Ode Malei menolak melepas kedudukannya. Walau akhinya ia tersingkir juga oleh La Ode Bulai.

Begitupun La Ode Ahmad, mempunyai keluarga di Muna. Ia adalah putra Wa Ode Ogo. Sedangkan Wa Ode Ogo adalah putri La Ode Bulai. Wa Ode Ogo menikah dengan Sultan Mohammad Salihi (Sultan Munara). 

Tidak Serupa Kulisusu dan Tiworo

Tulisan berikut ini dinukil mentah-mentah dari Buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna sebagaimana kalimat Jules Couvreur sendiri:

Dalam satu surat dari Asisten Residen Buton kepada Gubernur Celebes tentang pengangkatan La Ode Rere sebagai Omputo Kino Wuna pada 1926, tertulis bahwa tidak diadakan penyerahan pemberian Omputo Kino Wuna yang baru kepada sang Sultan sebagaimana lazimnya berlaku.

Ini diakibatkan oleh beberapa faktor tertentu dalam hubungan antara omputo dan sultan.

Atas pertanyaan saya, "Pemberian apa yang diserahkan dulu kepada sang Sultan oleh Omputo yang baru?

Maka diceritakan bahwa berdasarkan perjanjian antara Murhum dengan La Pusaso sejak dulu kala, maka selalu ada saling memberi informasi satu dengan yang lain tentang keadaan mereka masing-masing.

Berdasarkan perjanjian itu Omputo Kino Wuna yang baru pergi ke Buton untuk menyampaikan pengangkatannya kepada Sultan. Pada waktu itu ia membawa serta uang sejumlah 20 bhoka (Rp 48).

Uang dimaksudkan sebagai imbalan biaya penerimaan Omputo Kino Wuna oleh Syarat Buton selama berada di sana.

Uang sejumlah itu dipungut dari 4 ghoera. Apabila jumlah itu tidak dapat diperoleh, maka sebagai pengganti diserahkan kepada sang Sultan seorang gadis dari golongan maradika (pinokontu lakonosau).

Menurut hemat saya, bisa disimpulkan bahwa Muna tidak pernah menjadi daerah taklukan Buton.

Seandainya itu terjadi, maka pasti hal itu akan jelas dari data yang saya kumpulkan untuk menyusun sejarah ini.

Data tersebut pun bukan dikumpulkan pada suatu saat, melainkan pada banyak kesempatan, karena pada waktu saya menyusun laporan ini selalu nampak perlunya koreksi dan tambahan.

Begitupun penguasa militer Gortmans dalam laporan serah terimanya pada tahun 1923 juga menyimpulkan, "Sebenarnya Muna tidak pernah ditaklukan oleh Buton".

Dengan demikian, ada kemungkinan besar Muna tidak pernah menjadi daerah taklukan Buton, sebagaimana terjadi pada daerah Kulisusu dan Tiworo, yang direbut dari Ternate.

Baru dalam tahun 1906 Muna dikelompokkan dalam daerah pemerintahan Buton, berdasarkan pencantuman Muna dalam Pernyataan Pendek (Korte Verklaring).

Dengan menjadi bagian dari pemerintahan Buton, maka daerah Muna secara taktis berada di bawah pengawasan Sultan Buton berdasarkan Pernyataan Pendek antra Sultan Buton dan Pemerintah Belanda. Omputo Kino Wuna tinggal tunduk pada keputusan itu.

Keadaan ini tidak disetujui oleh pihak Muna. Hal ini tidak hanya jelas dari pemecatan La Ode Rere sebagai Omputo Kino Wuna oleh Belanda, tapi juga dalam soal pembayaran pajak kendaraan (tahun 1934).

Omputo Kino Wuna yang sekarang (tahun 1935), La Ode Dika bergelar Komasigino, menolak membayar pajak itu dengan alasan antara lain bahwa menurut dia peraturan-peraturan daerah otonom Buton tidak berlaku di Muna tanpa persetujuan Omputo Kino Wuna sebelumnya.

Berkaitan dengan soal status Muna terhadap Buton, maka menurut hemat saya perlu dicatat juga penyampaian Sultan Buton kepada saya pada waktu ada pembicaraan tentang penggantian seorang kepala distrik yang tidak cocok bertugas di Muna tapi asalnya dari Buton.

Sultan Buton berpendapat petugas tersebut harus langsung diganti dengan petugas asal Muna. Karena, katanya, antara Muna dan Buton ada watas, dan orang Buton mesti tinggal di sebelah sana dan orang Muna di sebelah sini dari watas itu.

Juga Gortmans sudah mengatakan dalam memori serah terimanya bahwa menurut dia tidak betul menugaskan bangsawan Buton di daerah Muna. (*)

Dipetik dari buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, Jules Couvreur

Baca Juga: 
Lakilaponto Raja di Dua Negeri


Comments

Popular posts from this blog

Katimboka: Layangan Pertama di Dunia

Peneliti layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck, saat memulai penelusurannya pada 1997 mendapati semua literatur menunjuk Cina rumah kelahiran layang-layang dunia. Mengambil tonggak 2800 tahun lalu Cina telah menerbangkan layangan terbuat dari sutra dan bambu emas sebagai bingkainya. Penggalian lebih jauh mempertemukan Wolfgang dengan layang-layang di Asia Tenggara yang lebih primitif. Terbuat dari daun. Baca Juga: Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope Persepsinya mengenai layang-layang terdamprat. Dari situ dia mulai membuka jalur baru pemetaan asal muasal layang-layang, menggunakan pendekatan teori evolusi. Wolfgang Bieck mengungkapkan hal ini kepada penulis, saat Festival Layang-Layang Internasional 2006 yang diselenggarakan di Kabupaten Muna, satu pulau kecil di Indonesia. Ia menaruh purbasangka, layang-layang sutra hanya mata rantai berikut dari evolusi layang-layang, suatu pengembangan dari layang-layang daun. Persoalannya sekarang, di Asia Tenggara teru...

Pesan Geologi Berusia 1,8 Juta Tahun untuk Kabupaten Muna

Muna sebagai kabupaten usianya tahun ini 65 tahun, sebagai kerajaan umurnya menginjak 814 tahun, sebagai sebuah pulau usianya menurut Kementerian ESDM terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.  Ilustrasi pengangkatan Pulau Muna Muna 1 Juli 1959 mekar jadi kabupaten. Sama-sama mekar dengan Kecamatan Kendari, Buton, dan Kolaka saat Sulawesi Tenggara resmi terbentuk jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebelumnya Sulsel dan Sultra digabung jadi satu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Sejauh 2024 Muna sudah melahirkan 2 anak, yaitu Kabupaten Buton Utara yang dimekarkan pada 2 Januari 2007 dan 7 tahun kemudian tepatnya 23 Juli 2014 memekarkan Kabupaten Muna Barat. Terbersit rencana pemekaran dua wilayah lagi, Kota Raha dan Muna Timur.  Muna adalah nama suku yang mendiami satu dari dua pulau besar berdampingan di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, Pulau Muna. Dan di sebelahnya Pulau Buton.  Secara administratif Muna berbagi tempat d...

Petunjuk Jalan Keliling Daerah Sulawesi Tenggara

Wakatobi hanya satu dari 4 pulau mayor di Sulawesi Tenggara yang memendam harta karun objek wisata alam yang eksotis. Mulai dari bawah laut, tepi pantai, hutan, sungai, air terjun, laguna, flora dan fauna endemik, gua purba, menara kars, hingga di angkasanya masih beterbangan burung langka dan layang-layang pertama di dunia, adalah semua apa destinasi wisata yang orang butuhkan, ada di jazirah ini. Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 17 kabupaten/kota, secara rinci 2 kota dan 15 kabupaten. Sebagian daerah-daerah itu berdiam di daratan utama Sulawesi dan sebagian tersebar di kepulauan. Persisnya 8 daerah di daratan dan 9 daerah di kepulauan. Wilayah Daratan Sebanyak 8 daerah di daratan adalah: Kabupaten Kolaka ibu kotanya Kolaka Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) ibu kotanya Wanggudu Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) ibu kotanya Tirawuta Kabupaten Konawe ibu kotanya Unaaha Kabupaten Konawe Utara (Konut) ibu kotanya Lasusua Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) ibu kotanya Andoolo Kota Kendari...