Pasar lama berdiri di lokasi yang sekarang Alun-Alun Raha. Seluas itu juga. Berbagi tempat dengan terminal dan pusat kuliner.
Tahun 80-an itu persis di tepi pantai. Sejumlah proyek reklamasi membuatnya sekarang jadi lebih jauh ke dalam.
Wajah Pasar Lama |
Ramai anak sekolahan mejeng sambil menunggu mobil di terminal pada jam-jam pulang.
Sekolah dulu terbatas sehingga banyak tetangga kota turun sekolah di Raha, pulang balik naik mikrolet. Belum ada ojek. Semua bertemu di satu titik, pasar lama.
Pasar dulu punya pelataran yang luas, ada tiang bendera seperti yang biasa berdiri di halaman sekolah. Pelataran itu tempat "penjual obat" beratraksi dengan sulap-sulapnya yang memukau. Bakar kertas jadi uang.
Ada Latando perform bersama ularnya. Ada Kamran pamer keampuhan obat sakit giginya, Mustari jualan obat gosok minyak serai, dan Mr Jack menawarkan obat kuat, serta banyak lagi.
Selain penjual obat, di pelataran menyelip penjual es sirop gerobak, geroncong, kadang juga ada halus manis, serta kabente (pop corn).
Landmark pasar terbagi tiga bagian. Gedung pasar sentral itu sendiri dan pelatarannya, kemudian di depannya terminal, hanya dipisah got. Dan di belakang terminal berdiri pusat kuliner.
Lapak-lapak berjajar di situ, ada bakso, pisang ijo, coto makassar, ikan bakar, dan lain-lain.
Coto Makassar Jeneberang memulai kedai pertamanya di sini. Ketupatnya gratis sejak berdiri.
Di terminal ramai penjual rokok di lemari ceper berkaki empat dengan pintu kaca. Ada juga penjaja rokok keliling, penjual es mambo, es lilin, es kue.
Rokok zaman itu Export, Commodore, dan 567, Bentoel Biru, Bentoel Merah, Dji Sam Soe, Gudang Garam Merah.
Sampah belum jadi masalah. Bungkus ikan masih pakai daun jati. Bungkus makanan masih pakai daun pisang.
Kalau hujan payungnya daun pisang atau daun keladi.
Kantong belanja masih pakai balase, tas yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Sudah ada kantong plastik tapi dia belum menjadi segala-galanya.
Karena itu kali di belakang pasar awet. Bersih, walau berada di samping pasar ikan.
Sebelum pasar ikan, los terakhir bangunan utama diisi toko buku, menjual dan menyewakan buku-buku populer.
Seperti serial silat Wiro Sableng, petualangan Lima Sekawan, Nick Carter, Lupus, novel-novel percintaan karya Fredy S, Mira W, sampai Kunci Ibadah, primbon, dan TTS.
Pasar terletak persis di tengah kota sehingga dari berbagai penjuru relatif dekat, dapat diakses dengan jalan kaki.
Kalau belanjaan berat, barulah dipanggilkan becak. Becak satu-satunya transportasi umum.
Naik becak lebih banyak menguras perasaan dari pada menguras isi kantong.
Jalan di Raha konturnya naik turun. Kalau ketemu pendakian tinggi banyak penumpang memilih turun dulu, nanti sudah rata baru naik lagi. Tidak tega dengar napas tukang becak kembang-kempis apalagi sudah bercampur bunyi ngik.
Beberapa pedagang yang besar di pasar lama antara lain Edras, tempat beli kaset dan barang elektronik. Dia pun melayani service.
H Rosman, toko sembako paling sibuk, ramai.
Riceng salah satu toko kosmetik, senter, harmonika dan peralatan sekolah yang dikenal luas.
Kalau beli sepatu, toko yang ternama punya H La Mbira.
Juhaepa tidak ada yang tidak kenal di dunia tepung dan bahan-bahan kue.
Toko busana paling keren waktu itu Asri Mulia.
Sementara penjahit, Udin paling luas tempatnya, banyak karyawannya, dan banyak pelanggannya.
Dan tidak kalah populer, La Paepa, penjual sabun mandi keliling.
Kelilingnya di pasar saja. Sabun mandi toh, andalannya GIV. Satu Raha sudah paham dia.
Mau dibilang gila, dia tahu harga dan fluktuasinya. Mau dibilang waras, cara berdagangnya lain dari pada yang lain.
Di Raha, La Paepa tak ubah brand ambassadornya GIV. GIV dan La Paepa itu seperti shampo Pantene dengan Anggun C Sasmi. Seidentik itu. (*)
Sebelumnya:
Sketsa 80-an: Musik
Sketsa 80-an: Karanu
Sketsa 80-an: Kapal Kayu
Sketsa 80-an: Kota Jati
Sketsa 80-an: PHB
Sketsa 80-an: Cinta Monyet
Sketsa 80-an: RAHA Sekilas
Comments
Post a Comment