Seniman tahun 80-an menyuguhkan kami segala jenis musik. Mulai dari seriosa, keroncong, gambus, pop, rock, dangdut, disko, jazz, bosas, blues, country, rege, balada, sampai kasidah.
Semua genre itu ada artis-artisnyanya tersendiri. Kami jadi kenal jenis-jenis musik di dunia dan percampurannya. Telinga kami kaya dengan warna-warni aliran musik.
Tidak ada di zaman kami, karena pop laris manis lalu semua artis main di pop.
Tetapi masing-masing dengan warna musiknya berusaha memikat telinga pemirsa sekuat tenaga. Jadilah mereka punya penikmat setianya sendiri-sendiri.
Bila kamu berjalan-jalan keliling kota tahun 80-an, kamu akan menemukan rumah ini putar lagu ini, rumah itu putar lagu itu, tidak semua rumah terdengar nyanyian yang sama.
Sesuai selera masing-masing saja. Tiap orang memutar lagu populer dari aliran musik kegemarannya yang rilis pada saat itu.
Walau memang tidak kaku seperti satu orang satu genre. Ada orang yang menyukai beberapa aliran musik, namun ada satu yang getarannya lebih cetar dalam gairahnya.
Ada maniak Ebit G Ade yang sastrawi,
Ngefans Iwan Fals yang etnik bersama Sawung Jabo.
Kemudian di jalur balada tenar penyanyi Gombloh, Tommy J Pisa, Franky and Jane, dan Ully Sigar Rusady
Yang suka keroncong akan dimanjakan cengkok Sundari Sukoco, Mus Muliadi, Hetty Koes Endang.
Penikmat kasidah dihibur oleh grup Nasida Ria.
Ermi Kulit lekat dengan bosas bersama Iga Mawarni.
Ada lagi Farid Harja yang disko, Anci Larici condong ke rege, Indra Lesmana kental sekali jazz-nya, dan Tetty Manurung memilih jalur seriosa.
Di pentas dangdut jangan kau tanyakan. Raja dan ratu dangdut lahir di era kami: Roma Irama dan Elvi Sukaesih.
Dan tidak terhitung artis pop, rock, dan blues. Slank salah satu band awal kelahirannya akhir 80-an membenamkan blues dalam DNA-nya.
Musik diakses lewat layar televisi. TVRI satu-satunya chanel, tapi punya banyak programa musik: Album Minggu, Aneka Ria Safari, Selecta Pop, Kamera Ria.
Karena televisi masih jarang, satu televisi kadang ditonton bersama orang "sekampung".
Ada yang nonton bawa buku catatan, untuk menulis syair lagu kesukaannya. Kalau lagu favorit tidak mucul hari itu, ada rasa kecewa di hati.
Buku sekolah tempo itu di depan berisi mata pelajaran, di belakang berisi lirik lagu-lagu favorit.
Selain televisi, musik juga diputar di radio transistor dan tape recorder. Tak punya listrik, pakai baterai. Dengan itu dia bisa dibawa ke mana-mana.
Kaset adalah "multimedia" 80-an.
Drama pun dikasetkan. Dengar kaset "Ratapan Anak Tiri" di tape recorder, orang duduk manis dan menyimak seperti sedang nonton depan televisi.
Bahkan film dibuatkan versi sandiwara radio. Saur Sepuh dan Tutur Tinular, dua di antaranya. Biasanya dibuka dengan prolog khas: "Butir-Butir Pasir di Laut.........".
Anak 80-an mengalami semua zaman teknologi berkembang.
Mulai dari piringan hitam memutar lagu di gramofon, sampai era digital memainkan mp3 di handphone.
Dan teranyar, era smartphone, anak 80-an berada pada titik yang tak pernah dibayangkan.
Mereka pernah mengalami masa di mana satu layar televisi ditonton bersama orang "sekampung".
Mereka juga mencicipi era di mana orang "sekampung" dapat berkumpul di satu tempat virtual, menonton tayangan/presentasi dari satu layar yang sama, tapi sendiri-sendiri. (*)
Bersambung ke edisi Sketsa 80-an: Pasar Lama
Sebelumnya:
Sketsa 80-an: Karanu
Sketsa 80-an: Kapal Kayu
Sketsa 80-an: Kota Jati
Sketsa 80-an: PHB
Sketsa 80-an: Cinta Monyet
Sketsa 80-an: RAHA Sekilas
Comments
Post a Comment