Remaja 80-an kalau baku ser (pacaran), mereka tidak ingin sekali diketahui orang lain.
Ada rasa malu. Bakal jadi objek candaan teman-temanya atau dilaporkan pada orang tuanya. Kejadian diomeli habis-habisan di rumah.
Tempo itu orang tua sangat dihormati dan disegani dan pacaran dianggap tabu bila masih duduk di bangku sekolahan. Masih hijau, katanya. Masih bau kencur.
Bahkan sekadar dijodoh-jodohkan saja, waktu itu orang merasa risih.
Apabila dia tidak sreg terhadap sosok yang dipasang-pasangkan kepadanya, biasanya dia menolak dengan cara marah.
Marah adalah cara terpercaya untuk membantah.
Dan, bila orang yang dimaksud ternyata dia sukai, dia juga murka, tapi sambil membasah-basahi bibirnya.
Mereka tidak ingin perasaan hatinya mudah terbaca. Prinsipnya seperti syair lagu Iwan Fals, penyanyi idola zaman itu: "Cinta Ini Milik Kita".
Kalau di tempat umum mereka seperti tidak saling kenal. Walau di penglihatan orang-orang, mereka kerap tertangkap basah saling curi pandang mesra.
Di depan orang mereka tidak saling bertegur sapa, tapi di rumah surat cinta penuh laci meja belajar.
Dalam surat, kalimatnya berapi-api, penuh kata mutiara. Paling sedikit 3 lembar kertas Harvest motif bunga-bunga merah jambu. Giliran ketemu berdua, untung-untung 3 kata kelar. Lebih banyak gulung-gulung ujung baju di jari telunjuk kerjanya.
Sebentar malam di atas kertas baru ketahuan apa isi di hati masing-masing, yang tak sempat terucap tadi siang.
Dengan catatan kaki:
"Empat kali empat, enam belas.
Sempat tak sempat harap dibalas." (*)
Bersambung ke edisi Sketsa 80-an: PHB
Comments
Post a Comment