Skip to main content

Posts

Melawan Penjajah dengan Kampanaha

Kampanaha bagi kaum perempuan Kerajaan Muna tidak sekadar kesukaan mengunyah sirih. Ia menjadi salah satu alat perjuangan ketika negeri dirudapaksa penjajah. Tentu saja tidak seheroik kisah perempuan Aceh bernama Malahayati ketika menghimpun janda-janda para pejuang yang gugur di medan perang, lalu mengangkat senjata menentang penjajahan Belanda. Penggalan cerita terbaik Malahayati ada di geladak kapal ketika ia memaksa perang laut. Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman, dalam pertempuran satu lawan satu. Dengan sebab itu, ia mendapat gelar laksamana. Malahayati, laksamana wanita pertama di dunia, sebenarnya. Kampanaha adalah kotak berisi bahan-bahan membuat ramuan sirih. Mengunyah ramuan ini oleh bahasa ibu disebut mepana. Gerakan Mepana oleh perempuan Muna, lebih pada perlawanan tanpa senjata. Dunia mengenal garam dalam sebait sejarah pembebasan sebuah bangsa. Suatu ketika Inggris mengambil kebijakan yang keras terhadap negeri jajahannya, India, sampai-sampai warga Ind...

Rencana Dua Alam di Teluk Kendari

Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam mempunyai rencana besar di Teluk Kendari, megaproyek jembatan layang Bahteramas. Tapi, alam lingkungan juga mempunyai rencananya sendiri di sana, jembatan Delta 32 Ada yang lupa dihitung oleh gubernur ketika menggagas jembatan penghubung dua sisi yang saling berhadap-hadapan, melintas di atas teluk. Yaitu tentang apa yang sedang terjadi di bawah permukaan laut Teluk Kendari. Pakar ekologi Universitas Haluoleo, Dr Ir La Ode Alwi MSi mengungkapkan hasil penelitiannya, kedalaman awal teluk mencapai 23 meter. Kini, titik terdalam hanya 6,5 meter. Ketebalan sedimen kurang lebih 16,5 meter. “Kalau tidak ada perlakuan terhadap teluk, maksud saya kalau dibiarkan begitu saja tidak dikeruk, saya prediksi tahun 2020 Teluk Kendari sudah menjadi daratan,” kata La Ode Alwi, saat disambangi wartawan koran ini di kediamannya pada 9 September 2013. La Ode Alwi tidak tidak sendirian dalam hal ini. Laporan Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai (B...

Dalam Asuhan Gelap

Embun lahir dari rahim gelap. Ia diciptakan dari kabut yang pekat. Yang hadir setiap tengah malam dan meriah keberadaannya pada subuh hari. Lantaran dia udara menjadi bersih. Dan, dengannya paru-paru kita menjadi segar, hingga ia siap mendukung langkah pertama kita mengawali hari. Apa yang bisa kita raih dengan bergiat sepanjang hari, pada saat yang sama kita melepas zat buangan ke pangkuan alam. Sebagian besar adalah polusi. Polusi yang tercipta pada siang hari ditangkap lalu lalu dikerangkeng dalam setiap butir embun, kemudian dibenamkan ke bumi untuk dilarutkan di dalam tanah. Organik dalam tanah siap mengurainya menjadi sesuatu yang tidak pernah kita sangka bahwa itu dahulunya adalah polutan. Karena ia mungkin saja telah berupa mangga, pisang atau jambu. Entah dari bahan apa gelap diciptakan, kehidupan butuh keduanya; gelap dan terang. Apa yang kita butuhkan dari terang untuk hidup, tumbuh dan berkembang, sama besar dengan dukungan apa yang kita perlukan dari gelap. (*)

Superiornya Usaha Pertambangan

Usaha pertambangan nikel pertama kali menginjakkan kaki di Konawe Utara Rakyat hilang dari pasal 33 UUD 45 begitu bicara soal tambang. Sebuah pasal yang menjadikan usaha pertambangan begitu superior dan menduduki tempat sangat istimewa dibanding usaha lainnya. Dalam praktiknya, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran, titik. Bupati Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Imran MSi, saat bincang-bincang dengan wartawan disela kunjungannya ke PT Ifishdeco, Selasa (20/9/11) lalu, mengatakan pada sebidang tanah setiap orang hanya berhak atas aset permukaan, tidak kandungan di dalamnya. Pemikiran itu berpijak di atas pasal 33 UUD 1945. Dari pasal itulah, terang Imran, lahir pemilahan dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pertambangan. Potensi bumi yang berada di atas permukaan tanah selanjutnya diurus dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan urusan bawah tanah dikelola ...

Tambang Datang Tembilang Asing

Kandungan mineral menyeruak di tengah pertanian subur dan hutan belantara. Kolaka, bahkan di kolong rumah penduduk berkubang Nikel. Sebuah transisi yang radikal menyusul, mendesak, merongrong struktur kehidupan pertanian yang mapan. Gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Kaimoeddin pernah melontarkan pernyataan yang kemudian menjadi aksioma paling terkenal. "Mau membangun lihatlah Kendari, Mau berpolitik bergurulah di Muna, Mau berdagang belajarlah di Buton, mau bertani belajar dari Kolaka". Hingga Kaimoeddin meninggal dunia, dan dua gubernur memerintah sepeninggalnya, aksioma ini belum banyak mengalami deviasi. Kecuali Kolaka, sekira memulai start tahun 2009, Kolaka ibarat diayak-ayak. Lahan pertanian dan perkebunan sepanjang mata memandang, dibalik satu lapis, lalu seketika dihujamkan jauh ke dasar bumi. Sebaliknya, apa yang ada di perut bumi dikeluarkan ke permukaan untuk dikelola sebagai penghidupan sehari-hari.   Sejak itu pacul dan tembilang menjadi benda yang asing. Sepe...

Wali Kota Malam

Tidak lama setelah kelelawar keluar di suatu petang November 2011, mereka juga sudah rapi dan wangi. Dari dagu pria-pria ini menyiratkan tidak ada masalah dengan isi di kantung. Asal bisa senang, uang bukan halangan. Mereka adalah orang-orang berpangkat dan berkuasa pada siang hari. Mereka sudah memiliki segalanya di hari siang, datang hendak menaklukan malam, melanjutkan kedigdayaannya untuk sepanjang hari. Wajah-wajah di mana asap mengepul dari ubun-ubun. Kelihatannya masih ada beberapa hal yang belum terpuaskan. Masih ada tawa yang belum dituntaskan.  Datang mengendus isi "aquarium" dengan seksama, dengus nafasnya menciptakan embun di dinding kaca. Aroma libido menyengat. Kokok ayam jantan mengisyaratkan watu tengah malam. Saat itu apa pun saja telah melarut, selarut malam. Bunyi butiran es batu menyentuh dinding gelas kaca, terbenam di riuhnya gelegar musik. Gelegak darah mengekstrak racikan impor menjadi gerak tak bernama. Mereka menjelma gambaran lagu Jamrud.  "Se...

Turis Lokal dan Payung Rusak

Seorang teman, Maturidi, wartawan Kaltim Pos, menyimpulkan di Bali biarpun bawa uang banyak, turis lokal banyak tetap saja tidak akan ditoleh.  "Kita sudah kalah sejak awal sama bule, kita kalah di imej," katanya. Berdua Maturidi main di Pantai Sanur Ia mendapatkan kalimat itu waktu keluar hotel. Kebetulan hujan sedang gerimis, satpam hotel dengan sigap menawarkan payung untuk bule yang keluar. Giliran Maturidi lewat, ia dibiarkan begitu saja, ditoleh pun tidak. Atas nama keadilan Maturidi mencoba meminta satu. Satpam memberinya sebuah, itupun dengan kata pengantar yang panjang.  "Sudah habis mas. Masih ada satu, ini yang terakhir, tapi sudah rusak. Mau?" Erwan (sebelah kanan) menghirup segarnya angin laut Nusa Penida Dengan payung rusak, malam itu, saya, Maturidi, Erwan (Riau Pos) dan Rihard (Tribun Pontianak) memaksakan diri ke Kute. Besoknya adalah hari terakhir pelatihan untuk jurnalis tentang Redd Plus and Peran Lahan Basah yang diadakan Cifor, bekerja sama den...