![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQiSYXZXsCvoTbm1H9hsNEtqsF1a2nMPe-WAXR88FFnmkxoVEHEs_wI3M20ubznSuHpmUrieXoVy151deCpGe8_R2tXha1_6aJbFFbPw_Q0YNHjrKLJhu8YF3yH1fzCAvIkwglvdd0tl8/s320/laskar+tani.jpg)
Kandungan mineral menyeruak di tengah pertanian subur dan hutan belantara.
Kolaka, bahkan di kolong rumah penduduk berkubang Nikel. Sebuah transisi yang radikal menyusul, mendesak, merongrong struktur kehidupan pertanian yang mapan.
Gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Kaimoeddin pernah melontarkan pernyataan yang kemudian menjadi aksioma paling terkenal.
"Mau membangun lihatlah Kendari, Mau berpolitik bergurulah di Muna, Mau berdagang belajarlah di Buton, mau bertani belajar dari Kolaka".
Hingga Kaimoeddin meninggal dunia, dan dua gubernur memerintah sepeninggalnya, aksioma ini belum banyak mengalami deviasi. Kecuali Kolaka, sekira memulai start tahun 2009, Kolaka ibarat diayak-ayak.
Lahan pertanian dan perkebunan sepanjang mata memandang, dibalik satu lapis, lalu seketika dihujamkan jauh ke dasar bumi. Sebaliknya, apa yang ada di perut bumi dikeluarkan ke permukaan untuk dikelola sebagai penghidupan sehari-hari.
Sejak itu pacul dan tembilang menjadi benda yang asing. Seperti sesuatu yang berasal dari suatu tempo yang jauh, sebuah benda purbakala. Lebih mudah mendapatkan Ore Nikel ketimbang menemukan tulang belulang orang tua mereka yang meninggal tiga tahun lalu.
Tambang telah membenamkan segalanya; hutan, kebun, sawah, ladang, peninggalan adat, cagar budaya, situs sejarah, tanah ulayat, tidak terkecuali makam leluhur. Euforia tambang boleh dikata semakin mempercepat rentang jarak keterasingan leluhur dari kekinian masyarakat.
"Berapa truk oremu, berapa persen kadarnya, ambil solar di mana, kapan pemuatan," hanya itu kosa kata yang terdengar sehari-hari, kata Azis, warga Kolaka.
Ia mengemukakan, orang tidak peduli siapa yang jadi bupati, kepala dinas, bagaimana pemerintahan bekerja, atau sudah sampai di mana pembangunan berjalan, semua tidak menarik lagi. Semua bicara, hanya ore, ore, dan ore, seperti sedang dimabuk tambang.
Sempat terselip pembicaraan lain hanya ketika terjadi polemik Bupati Kolaka Buhari Matta dan Gubernur Nur Alam belum lama ini.
Satu kecamatan bisa 8 perusahaan tambang mengeruk di sana. Tidak heran, kabupaten dengan 20 kecamatan itu seperti dicabik-cabik. Dengan kecepatannya, sebuah perusahaan dapat membuat pengapalan setiap minggu.
Sekali pemuatan, sebuah kapal mengangkut sedikitnya 50 ribu metric ton ore nikel. Laut ditimbun sepanjang hampir 2 kilometer untuk membuat dermaga, agar truk-truk ore bisa langsung mencapai kapal.
Aktivis Green Press, Hasrul, mencatat dalam litigasinya, laut sudah berwarna cokelat. Sepanjang garis pantai desa Tambea, Haka Tutobu, Hokohoko, dan desa Sopura atau kurang lebih 21 kilometer, sedimen mencapai 10 mil kearah laut dari pasang tertinggi.
Ketebalan sedimen rata-rata 0,5 hingga satu meter. Pada bentang pantai itu terdapat sejumlah aktivitas budidaya rumput laut dan Teripang. Semenjak tahun 2007 aktivitas ini telah ditinggalkan warga.
Sejumlah lembaga pencinta alam diantaranya Green Press, Corps Pencinta Alam Kolaka (CITAKA), Forsda Kolaka, PPLH Unsultra, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, Wahana Lingkungan Hidup, Medikra, membentuk Koalisi Masyarakat Sipil (KMS), dalam litigasinya, mengungkapkan ada satu pulau dimana warganya tergusur lembaran izin usaha pertambangan (IUP) sebab seluruh buminya mengandung ore nikel.
Maniang nama pulau itu, dihuni kurang lebih 100 kepala keluarga (KK). Pulau ini pernah menjadi pelarian petani rumput laut Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa, yang usaha budidayanya dibubarkan pencemaran dan sedimentasi.
Belakangan pulau ini dibombardir IUP, membuat 100 KK pelarian kembali berlari. Seluruh infrastruktur yang dibangun pemerintah amblas "digilas" mesin-mesin raksasa perusahaan tambang.
Sebelum 2009, warga Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa hidup dari budidaya teripang, rumput laut, dan hasil tangkapan ikan. Dengan itu, sebulan mampu mencetak uang Rp2 juta hingga Rp10 juta per kepala keluarga.
Marung Solo, Kades Pesouha Kecamatan Pomalaa, mengungkapkan hasil panen sawah warganya mencapai 40 sampai 70 karung. Setahun dua kali panen.
Petani tambak di desa Totobo, kecamatan Pomalaa, Apriadi, mencatat tambak udangnya cukup menggairahkan dengan panen 500 kg sampai satu ton.
Kenangan indah itu pupus, tertindih 64 IUP eksploitasi. Masih ada puluhan IUP antre di belakangnya, sedang dalam proses. Sebuah ekspansi yang kemudian menghilangkan sebagian besar hutan dan menutup sungai-sungai.
Lalu hewan-hewan datang menyerbu perkampungan, secara beramai-ramai mencari nafkah di ladang dan perkebunan masyarakat. Tidak ada lagi yang bisa dimamah di hutan, sebab bahkan hutannya sendiri telah binasa.
Kades Pesouha mencatat dua tahun terakhir petani gagal panen. Selain binatang pengganggu, banjir acap kali merendam persawahan. Tetangga Kolaka, Kabupaten Konawe Utara, di desa Tapunggaeya Kecamatan Lasolo gedung sekolah SDN 1 dan SMP 3 sudah dikepung lubang galian.
Bising mesin raksasa dan kabut debu menyelimuti aktivitas persekolahan. Memang, sekolah ini harus bubar, bukan saja karena di bawah lantai sekolah itu penuh dengan ore nikel tapi lokasi ini masuk arsiran IUP.
Mayoritas penduduk sebanyak 906 jiwa ini adalah tani dan nelayan. Seperti saudaranya di Kolaka, kini mereka menjadi buruh harian, sebagian terpaksa atau dipaksa menjadi pengangguran. (*)
Baca Juga:
Superiornya Usaha Pertambangan
Comments
Post a Comment