Skip to main content

Kendari Selama 193 Tahun dalam 8 Kata

Kendari 193 tahun lalu adalah kota pelabuhan yang bergairah dan berada di tempat paling eksotik, salah satu teluk terbaik di dunia. Kota tua itu sekarang hanya tempat lewat bukan lagi tempat berlapak. Romantismenya pun telah hilang. Tidak dapat menyaksikan bangunan bersejarah kuno yang tercermin di air laut seperti di Stockholm, Swedia atau Nyhavn di Copenhagen, dua kota pelabuhan tua termolek di dunia. 

Kota Pelabuhan

kamperodo
Ilustrasi Teluk Kendari pada era Vosmaer

Kota Kendari mengambil Hari Jadi 9 Mei 1831, hari ketika seorang pembuat peta dan penulis Belanda, JN Vosmaer, pertama kali mencapai Teluk Kendari. Hanya satu tahun kemudian kantor dagang (lodge) Belanda berdiri megah di sana dan tentu saja Teluk Kendari menjadi ada di peta dunia. Teluk yang tadinya kosong dalam waktu singkat berubah jadi kota pelabuhan yang ramai.

Kosong bukan berarti tak bertuan. Hanya tak dihuni saja. Penduduk asli yang mendiami tanah ini, suku Tolaki, merupakan masyarakat pedalaman. Mereka membangun peradaban di tanah pertanian.

Teluk Kendari bagian dari teritori Kerajaan Laiwoi. Untuk memuluskan kolonisasi, Vosmaer mengajak raja yang berkuasa pada era itu, Tebau, untuk memindahkan istananya ke Teluk Kendari. Gayung bersambut, terbentuklah kota baru.

Peradaban kemudian berkembang di pelabuhan dan sekitarnya. Pusat pemerintahan, pusat perniagaan, dan segala sesuatu yang pertama banyak bermula di sini, apa yang sekarang disebut Kota Lama.

Kerajaan Laiwoi salah satu kerajaan yang eksis di daratan tenggara Pulau Sulawesi, merupakan pecahan dari Kerajaan Konawe dengan pusat pemerintahan di Unaaha.

Status Kerajaan Laiwoi dahulunya merupakan tambo ilosoano oleo atau pintu pertahanan timur Kerajaan Konawe, dan bermarkas di wilayah Ranomeeto, dipimpin oleh seorang pejabat bergelar sapati. Ketika Kerajaan Konawe mengalami kemunduran, Sapati Ranomeeto membentuk dinasti baru dan berdaulat, lahirlah Kerajaan Laiwoi. 

Menurut Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah pada Pustaka Kemdikbud RI, suku Tolaki awalnya berasal dari Utara Sulawesi, tepatnya dari sekitar Danau Matano dan Towuti. Kemudian, karena desakan untuk mencari nafkah hidup, suku Tolaki bergeser ke jazirah Tenggara pulau Sulawesi untuk menempati daerah-daerah yang lebih subur. Masyarakat suku Tolaki serumpun dengan suku-suku To Mori, Toraja, To Bungku (To Bunggu), dan lain-lainnya.

Akhir 111 Tahun Belanda

Selama 111 tahun Belanda menduduki Kendari nanti berakhir setelah diusir Jepang pada Januari 1942 yang menginvasi Indonesia saat  pecah Perang Dunia II. Karena letaknya strategis, Kendari dijadikan salah satu pangkalan militer Jepang di Asia Pasifik, Kendari Airfield II, untuk menyerang beberapa daerah di sekitarnya, termasuk Australia. Sebab itu Kendari pernah beberapa kali dibom Sekutu. Orang Tolaki diserang dalam perang yang tidak diikutinya.

Sempat tiga tahun berada dalam atmosfer penjajahan Jepang, pada 1945 Jepang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat, menghancurluluhkan Nagasaki dan Hiroshima, dua kota pentingnya. Jepang menyerah, Indonesia Merdeka, Kendari rebah ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Setelah Indonesia merdeka, Kendari menjadi kecamatan dari Kabupaten Sulawesi Tenggara (Sultra), bersama Muna, Buton, dan Kolaka. Sultra masih bergabung dalam Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra), ibu kotanya Ujung Pandang. Sedangkan ibu kota Kabupaten Sultra berkedudukan di Kecamatan Baubau yang terletak di Pulau Buton.

Pada 1959, keempat kecamatan mekar jadi kabupaten. Masih bagian dari Provinsi Sulselra. Tidak ada lagi Kabupaten Sultra.

Pada 1964 Provinsi Sulselra memekarkan Provinsi Sultra, Kendari dijadikan ibu kota provinsi. Kendari tempo itu hanya dua kecamatan. Daerah pelabuhan di Teluk Kendari tempat lodge Belanda menjadi wilayah administrasi Kecamatan Kendari dan satu lagi dinamakan Kecamatan Mandonga. Mandonga ini sangat luas termasuk di dalamnya Baruga lokasi awal istana Kerajaan Laiwoi berdiri, sebelum diajak pindah ke kawasan teluk oleh Vosmaer.

Kembali ke Pedalaman

Melompat ke tahun 2024, Kendari sudah berdiri 3 plaza, 2 hotel bintang lima, sebuah jembatan gantung melintas di atas Teluk Kendari sepanjang 1,3 kilometer, pun juga sudah punya jalan tol yang menghubungkan Kota Kendari dan Pantai Toronipa di Kabupaten Konawe, sebuah pantai yang dimaksudkan menjadi seperti Ancol bagi Jakarta. Tol gratis panjangnya 14,3 kilometer.

Sebuah bandara internasional telah tersedia, disokong pelabuhan petikemas modern dan pelabuhan Pelni, semakin lengkap dengan hadirnya salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia.

Dari mula-mula 2 kecamatan, Kendari sekarang 11 kecamatan. Kota Kendari terus tumbuh seiring zaman. Dekade awal 2000-an bisnis properti bermunculan secara masif di mana-mana, menyeruak dari rimbunnya hutan-hutan di bukit juga lembah. Mengkonversi rawa-rawa, sawah, dan kebun-kebun menjadi kompeleks perumahan.

Kemakmuran bergerak dari Kota Lama mengalir ke Mandonga sehingga menumbuhkan distrik Kemaraya sebagai pusat perkantoran dan pendidikan, sedangkan Mandonga menjadi sentra bisnis.

Geliat usaha dan perdagangan terus beringsut semakin ke atas, ke Wuawua dan menggelinding  jauh sampai ke Anduonohu dan Baruga. Ya, Baruga tempat berdirinya istana Kerajaan Laiwoi dahulu.

Kota Lama sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan telah ditinggalkan. Kenang-kenangannya pun telah hilang setelah pemerintah daerah melakukan revitalisasi Kota Lama pada akhir Januari 2015 dengan dibangunnya Jembatan Teluk Kendari. Banyak arsitektur tua terutama di Pecinan dibongkar. 

Ditambah lagi pelabuhan Pelni dan pelabuhan petikemas dipisahkan dari pelabuhan teluk lalu dibangun baru di Bungkutoko, jauh di luar Teluk Kendari. Boleh dikata yang tersisa darinya hanya fungsi pelabuhan, itu pun penumpang toh.

Kemaraya dan Mandonga juga melambat, beda jauh ketika kampus terbesar di Sultra, UHO Kendari, serta kantor pemerintah provinsi  belum pindah ke Anduonohu. 

Berkeliling pada malam hari adalah waktu yang pas untuk melihat distrik mana yang gemerlap dan mana yang redup. Jika di Anduonohu bangunan kiri kanan jalan membuat silau, Kota Lama hanya terlihat seperti siluet. 

Begitulah insting peradaban bekerja, dia mengikuti kejayaan, yang tertinggal akan menjadi kenangan. Jika harus diungkapkan dalam 8 kata timeline Kota Kendari selama hampir dua abad, maka inilah dia: Dari pedalaman menjadi kota pelabuhan, kembali ke pedalaman. (*)


Comments

Popular posts from this blog

Katimboka: Layangan Pertama di Dunia

Peneliti layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck, saat memulai penelusurannya pada 1997 mendapati semua literatur menunjuk Cina rumah kelahiran layang-layang dunia. Mengambil tonggak 2800 tahun lalu Cina telah menerbangkan layangan terbuat dari sutra dan bambu emas sebagai bingkainya. Penggalian lebih jauh mempertemukan Wolfgang dengan layang-layang di Asia Tenggara yang lebih primitif. Terbuat dari daun. Baca Juga: Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope Persepsinya mengenai layang-layang terdamprat. Dari situ dia mulai membuka jalur baru pemetaan asal muasal layang-layang, menggunakan pendekatan teori evolusi. Wolfgang Bieck mengungkapkan hal ini kepada penulis, saat Festival Layang-Layang Internasional 2006 yang diselenggarakan di Kabupaten Muna, satu pulau kecil di Indonesia. Ia menaruh purbasangka, layang-layang sutra hanya mata rantai berikut dari evolusi layang-layang, suatu pengembangan dari layang-layang daun. Persoalannya sekarang, di Asia Tenggara teru...

Pesan Geologi Berusia 1,8 Juta Tahun untuk Kabupaten Muna

Muna sebagai kabupaten usianya tahun ini 65 tahun, sebagai kerajaan umurnya menginjak 814 tahun, sebagai sebuah pulau usianya menurut Kementerian ESDM terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.  Ilustrasi pengangkatan Pulau Muna Muna 1 Juli 1959 mekar jadi kabupaten. Sama-sama mekar dengan Kecamatan Kendari, Buton, dan Kolaka saat Sulawesi Tenggara resmi terbentuk jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebelumnya Sulsel dan Sultra digabung jadi satu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Sejauh 2024 Muna sudah melahirkan 2 anak, yaitu Kabupaten Buton Utara yang dimekarkan pada 2 Januari 2007 dan 7 tahun kemudian tepatnya 23 Juli 2014 memekarkan Kabupaten Muna Barat. Terbersit rencana pemekaran dua wilayah lagi, Kota Raha dan Muna Timur.  Muna adalah nama suku yang mendiami satu dari dua pulau besar berdampingan di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, Pulau Muna. Dan di sebelahnya Pulau Buton.  Secara administratif Muna berbagi tempat d...

Baubau Pernah Jadi Ibu Kota Sulawesi Tenggara

Kota Baubau pernah jadi ibu kota Sulawesi Tenggara (Sultra) selama 7 tahun. Itu terjadi di awal kemerdekaan Indonesia.  Baubau berada di Pulau Buton, salah satu pulau dari 4 pulau mayor di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, di samping Muna, Kabaena, dan Wakatobi. Buton juga dikenal dengan nama Wolio adalah satu dari 4 suku besar yang mendiami Sultra.  Benteng Keraton Buton Pemerintahan proklamator Indonesia, Ir Soekarno, ketika menetapkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan pada 1952 membentuk Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra) dengan ibu kota Makassar dan memasukkan Sultra sebagai salah satu kabupatennya. Ibu kota Kabupaten Sultra diletakkan di Baubau. Drs H La Ode Manarfa sebagai bupatinya. Status ibu kota kabupaten disandang Baubau sampai 1959 manakala Kabupaten Sultra mekar menjadi 4 daerah otonom, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari, dan Kabupaten Kolaka. Baubau kemudian menjadi ibu kota Kabupaten Buton. Menjadi ibu kota bagi Bau...