Skip to main content

Raja Muna Pertama: Bheteno ne Tombula

Dikisahkan secara turun-temurun dan diabadikan dalam buku Sejarah Kerajaan dan Kebudayaan Muna oleh Jules Couvreur, waktu kapal Sawirigadi (Sawerigading) terdampar di daratan Muna, Raja Luwuk mengutus beberapa orang pergi mencari kapal Sawirigadi. 

Sebagian orang-orang itu menetap di Pulau Muna, dan merupakan penghuni pertama. Kemudian mereka mendirikan koloni yang merek namakan Wamelai.

Setelah beberapa lama menetap, sebagian orang yang terdiri atas laki-laki itu kembali ke tempat asal mereka untuk mengambil istri-istri dan anak-anak mereka untuk dibawa ke Pulau Muna.

Kemudian, atas musyawarah bersama ditunjuklah seorang kepala yang diberi gelar mino Wamelai.

Suatu hari dibangunlah sebuah rumah besar untuk mino tersebut, akan tetapi mereka kekurangan bambu untuk membuat lantainya.

Sang mino menyuruh empat pembantunya (kafowawe) pergi mencari bambu di hutan. Setelah mencari di seluruh kawasan akhirnya menemukan juga sebatang bambu besar dan tebal di suatu tempat.

Ketika hendak memotong bambu itu tiba-tiba terdengar suara seseorang dari dalam pohon bambu itu.

Mereka tidak berani memotongnya dan kembali ke kampung dengan tangan hampa. Mereka menceritakan pada mino bahwa mereka menemukan sebatang bambu tapi mereka tidak berani memotongnya karena bilamana mereka hendak memotong bagian bawahnya terdengar suara yang mengatakan, "aduh betisku. Jika dipotong agak tinggi terdengar suara yang sama, "aduh punggungku. Dan bila dipotong lebih tinggi lagi, terdengar lagi, "aduh kepalaku."

Sang mino tidak percaya dan mengira pembantunya hanya malas saja. Lalu keempat orang itu disuruh kembali ke hutan dengan perintah keras untuk membawa bambu itu. Bilamana mereka kembali tanpa bambu maka mereka akan dibunuh. Untuk mengawasi mereka diikutsertakan orang kelima.

Ketika tiba di tempat dimaksud, orang kelima itu hendak memotong bambu itu tapi ia pun mendengar hal yang sama. Namun tanpa bambu mereka tidak berani kembali, sehingga mereka menggali bambu itu dan membawanya ke kampung.

Sang mino mendengar pengalaman orang kelima kini hendak mencoba juga membelah bambu itu akan tetapi ia pun mendengar suara yang sama.

Kemudian ia memanggil seluruh rakyat berkumpul di depan rumahnya dan menyuruh mereka menjaga bambu itu.

Setelah 40 hari 40 malam penjagaan, masuklah berita aneh. Dua orang lelaki dari Wamelai bernama La Lele dan La Katumende waktu menjelajahi Pulau Muna dan tiba di pesisir pantai yang kini terletak di Lohia mereka melihat seorang wanita duduk di atas palangga (sebuah pinggan batu besar) dan terapung, di sekitar Pulau Lima.

Wanita tersebut lalu ditangkap oleh mereka dan kemudian La Katumende pulang ke Wamelai memberitahukan peristiwa luar biasa ini. Mino menyuruh agar wanita itu dibawa ke Wamelai.

Wanita itu ternyata putri Datu Luwuk dan saudara perempuan Sawirigadi.

Ketika Sawirigadi kembali ke Luwuk dari Muna didapati ayahnya dalam kesusahan besar karena anak gadisnya belum menikah, yaitu saudara Sawirigadi bernama Tandiabe (We Tenri Abeng?) sedang hamil serta tidak mau mengatakan siapa yang menghamilinya. Satu-satunya yang ia katakan adalah bahwa ayah anaknya itu tidak tinggal di Luwuk melainkan di timur.

Sang Datu bukan hanya malu tapi juga marah. Sesuai kebiasaan, diperintahkannya agar putrinya dibuang ke laut dan didudukkan di atas batu besar yang pipih namun batu itu tidak tenggelam melainkan terapung-apung bersama Tandiabe semakin jauh dan tiba di sekitar Pulau Lima di mana ia ditangkap oleh La Lele dan La Katumende.

Ketika di bawa ke Wamelai, ia diletakkan di depan rumah mino, di mana seluruh rakyat mengagumi wanita itu. Tiba-tiba terdengar lagi suara dari dalam bambu yang ditujukan pada wanita itu.

"Engkau menjadi istriku." Wanita itu menjawab, "saya dalam keadaan begini karena ulahmu."

Karena itu, atas perintah mino, wanita itu yang diberi nama Sangke Palangga (diambil dari pinggan batu) bersama dengan bambu itu dibawa ke Lambubalano (letaknya di Kota Muna) dan kemudian bambu itu dibelah. Ketika bambu dibelah, munculah seorang laki-laki dan diberi nama Bheteno ne Tombula.(*)

Baca Juga:
Asal Muasal Pulau Muna

Comments

Popular posts from this blog

Katimboka: Layangan Pertama di Dunia

Peneliti layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck, saat memulai penelusurannya pada 1997 mendapati semua literatur menunjuk Cina rumah kelahiran layang-layang dunia. Mengambil tonggak 2800 tahun lalu Cina telah menerbangkan layangan terbuat dari sutra dan bambu emas sebagai bingkainya. Penggalian lebih jauh mempertemukan Wolfgang dengan layang-layang di Asia Tenggara yang lebih primitif. Terbuat dari daun. Baca Juga: Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope Persepsinya mengenai layang-layang terdamprat. Dari situ dia mulai membuka jalur baru pemetaan asal muasal layang-layang, menggunakan pendekatan teori evolusi. Wolfgang Bieck mengungkapkan hal ini kepada penulis, saat Festival Layang-Layang Internasional 2006 yang diselenggarakan di Kabupaten Muna, satu pulau kecil di Indonesia. Ia menaruh purbasangka, layang-layang sutra hanya mata rantai berikut dari evolusi layang-layang, suatu pengembangan dari layang-layang daun. Persoalannya sekarang, di Asia Tenggara teru...

Pesan Geologi Berusia 1,8 Juta Tahun untuk Kabupaten Muna

Muna sebagai kabupaten usianya tahun ini 65 tahun, sebagai kerajaan umurnya menginjak 814 tahun, sebagai sebuah pulau usianya menurut Kementerian ESDM terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.  Ilustrasi pengangkatan Pulau Muna Muna 1 Juli 1959 mekar jadi kabupaten. Sama-sama mekar dengan Kecamatan Kendari, Buton, dan Kolaka saat Sulawesi Tenggara resmi terbentuk jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebelumnya Sulsel dan Sultra digabung jadi satu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Sejauh 2024 Muna sudah melahirkan 2 anak, yaitu Kabupaten Buton Utara yang dimekarkan pada 2 Januari 2007 dan 7 tahun kemudian tepatnya 23 Juli 2014 memekarkan Kabupaten Muna Barat. Terbersit rencana pemekaran dua wilayah lagi, Kota Raha dan Muna Timur.  Muna adalah nama suku yang mendiami satu dari dua pulau besar berdampingan di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, Pulau Muna. Dan di sebelahnya Pulau Buton.  Secara administratif Muna berbagi tempat d...

Petunjuk Jalan Keliling Daerah Sulawesi Tenggara

Wakatobi hanya satu dari 4 pulau mayor di Sulawesi Tenggara yang memendam harta karun objek wisata alam yang eksotis. Mulai dari bawah laut, tepi pantai, hutan, sungai, air terjun, laguna, flora dan fauna endemik, gua purba, menara kars, hingga di angkasanya masih beterbangan burung langka dan layang-layang pertama di dunia, adalah semua apa destinasi wisata yang orang butuhkan, ada di jazirah ini. Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 17 kabupaten/kota, secara rinci 2 kota dan 15 kabupaten. Sebagian daerah-daerah itu berdiam di daratan utama Sulawesi dan sebagian tersebar di kepulauan. Persisnya 8 daerah di daratan dan 9 daerah di kepulauan. Wilayah Daratan Sebanyak 8 daerah di daratan adalah: Kabupaten Kolaka ibu kotanya Kolaka Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) ibu kotanya Wanggudu Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) ibu kotanya Tirawuta Kabupaten Konawe ibu kotanya Unaaha Kabupaten Konawe Utara (Konut) ibu kotanya Lasusua Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) ibu kotanya Andoolo Kota Kendari...