Saat bambu dibelah dan muncul lelaki yang kemudian digelar Bheteno ne Tombula, pria ini melihat keempat kafuwae Mino Wamelai sembari berucap, "kamu tanombaura-uramo, tanombalembo-lembomo, tanombatala-talamo, pedamo ndoke."
Makna kata-kata ini tidak diketahui lagi.
Kafuwawe adalah pembantu Mino Wamelai yang disuruh pergi mencari bambu di hutan.
Begitulah keempat kafuwawe Mino Wamelai mendapatkan nama-nama mereka, berturut-turut La Kaura, La Lembo, La Kancitala, dan La Ndoke.
Keturunan mereka kemudian hari disebut Fato Lindono.
Selanjutnya, Bheteno ne Tombula dan Sangke Palangga dibawa ke Wamelai di mana mereka menikah dan tinggal di rumah Mino Wamelai.
Dari perkawinan keduanya lahirlah tiga orang anak. Pertama, seorang pria bernama Runtu Wulau, kedua seorang putri bernama Kila Mbibito, dan ketiga seorang lelaki bernama Kaghua Bangkano.
Runtu Wulau kemudian kembali ke Luwuk. Sementara Kila Mbibito menetap dan kawin dengan anak Mino Wamelai, La Singkakabu.
Dan, Kaghua Bangkano juga menetap dan kawin di sini.
Tongkuno
Setelah beberapa waktu lamanya, penduduk Wamelai semakin bertambah sehingga tidak ada lagi daerah ladang yang kosong.
Dibukalah sebuah daerah ladang yang baru yang agak masuk ke darat.
Letaknya di pertengahan lereng antara laut dan puncak bukit di mana perahu Sawerigading terdampar.
Pada awalnya rakyat menetap di Wamelai tapi ketika daerah ladang baru ini semakin meluas serta jaraknya semakin jauh, menetaplah mereka di ladang-ladang baru itu, sehingga jadilah perkampungan baru yang di sebut Tongkuno.
Berasal dari kata "tongku" artinya setengah.
Kampung-kampung itu tidak dapat disamakan letaknya dengan kampung-kampung masa kini.
Kampung yang ada sekarang merupakan pengaturan wilayah ketika penguasa militer Gortmans (1918-1923) dan dibuat pada masa pemekaran daerah di era otonomi setelah kemerdekaan.
Sebelumnya kampung-kampung merupakan kompleks perladangan yang luas dan terpencar-pencar, dan dalam setiap ladang ada sebuah rumah.
Setelah itu, Mino Wamelai mengangkat anaknya, Singkakabu, sebagai kamokula kampung baru ini.
Karena dilahirkan dalam bambu maka Bheteno ne Tombula dianggap makhluk mulia.
Akibatnya, sesuah beberapa lama Mino Wamelai meletakkan jabatannya dan tunduk pada Bheteno ne Tombula. Dialah yang sekarang dianggap sebagai "orang pertama" dalam kedua kampung tersebut.
Empat Kamokula
Tak lama kemudian, seiring makin berkembangnya penduduk di Tongkuno, mulailah mereka mengelompokkan diri menjadi empat kelompok.
Satu kelompok tetap di Tongkuno, tiga kelompok lainnya mendirikan kampung-kampung baru.
Kampung-kampung ini diberi nama sesuai pemimpin tiga kelompok itu.
La Rangka mendirikan kampung Barangka, La Pepi membentuk kampung Wa Pepi, dan La Lindo mendirikan kampung Lindo.
Untuk setiap kampung baru ini, Kaghuabangkano dan Singkakabu menunjuk seorang kamokula.
Para kamokula ini tidak otonom melainkan haruslah dianggap sebagai wakil-wakil Kamokula Tongkuno yaitu Singkakabu. (*)
Dipetik dari buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, Jules Couvreur
Comments
Post a Comment