![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg56RJNPL7X87hVZhVgYgIQUf-euwv8UeauaTct54KnrcY5iLexx2_-ewQA6mRIhzmY7K_DbJ6IjpdlEcmGfDK1sX-AQmI2_56FEucjRlUPXE0EeZVtbm2XxBEwSC0SG-As5vG49biCSOo/s320/mabuk.jpg)
Ini pemandangan di pintu keluar salah satu tempat hiburan malam Kendari medio 2010, tiga jam lagi matahari terbit. Yah, selamat datang kembali ke dunia nyata.
Entah berapa banyak uang yang sudah mereka tinggalkan di ruang remang-remang itu, untuk musik hingar bingar dan beberapa botol minuman keras. Jangan membayangkan tentang wajah-wajah ceria layaknya seseorang yang baru pulang kampung setelah lama merantau.
Pemandangannya sama sekali tidak sedap. Ada yang dipapah, ada yang meracau tak menentu. Tidak ada yang keluar dengan kepala tegak. Seolah enggan, mengapa ini harus berakhir. Kecuali Beberapa orang yang sudah hilang mabuk saat berurusan dengan kasir.
Di antaranya ada wajah-wajah yang siang hari sangat dihormati terutama di kantornya. Untuk menyapanya, orang harus mengucapkannya dengan sedikit membungkukkan badan. Tapi dunia di sini adalah dunia yang berbeda.
“Di mana kosimpan mobilmu ana bule,” tanya kekasihnya. Sopan santun di sini hanya berlaku untuk dua orang: Penjual tiket dan bartender.
Tiga jam lagi matahari terbit, setidaknya malam belum berakhir. Beberapa menit sebelum tiga jam lagi matahari terbit, ada yang bahkan baru saja hendak memulai malam. Parkir mobil di halaman, pria-pria penuh percaya diri itu menunggu dengan jendela setengah terbuka. Yang berkendara motor, nampang di atas kendaraanya. Sepertinya tidak akan ada penggalan malam yang tersia-sia.
Di tengah riuh ramai, para pejantan tangguh mendekati sasaran. Sedikit sapaan pendek, basa-basi alakadarnya, seluruh adegan berlangsung cepat namun teratur. Seiring knalpot meraung, kehidupan malampun berlanjut di suatu tempat entah dimana lagi. Masih tiga jam lagi matahari terbit.
Sebahagian kecil dari mereka, adalah pemilik kantong 12 pas namun semangat dugemnya pol gas.
Tiga jam lagi matahari terbit, setidaknya malam belum berakhir. Beberapa menit sebelum tiga jam lagi matahari terbit, ada yang bahkan baru saja hendak memulai malam. Parkir mobil di halaman, pria-pria penuh percaya diri itu menunggu dengan jendela setengah terbuka. Yang berkendara motor, nampang di atas kendaraanya. Sepertinya tidak akan ada penggalan malam yang tersia-sia.
Di tengah riuh ramai, para pejantan tangguh mendekati sasaran. Sedikit sapaan pendek, basa-basi alakadarnya, seluruh adegan berlangsung cepat namun teratur. Seiring knalpot meraung, kehidupan malampun berlanjut di suatu tempat entah dimana lagi. Masih tiga jam lagi matahari terbit.
Sebahagian kecil dari mereka, adalah pemilik kantong 12 pas namun semangat dugemnya pol gas.
“Bir kalau satu dua botol tidak bikin teler. Mau beli yang impor, kantung tidak mendukung. Jadi, mabuk memang dari luar dengan kameko, cap tikus, atau mansion. Kalau sudah mabuk setengah, baru masuk. Lalu pesan bir alakadarnya untuk tambah-tambah mabuknya,” ungkap Asdar, salah seorang pengunjung.
Mengakali kehidupan dengan cara itu, mereka bisa menghemat beberapa rupiah yang bisa dipakai untuk—lumayan--short time.
“Begitulah kota kecil yang sedang belajar kota besar,”dukung Anto, rekannya.
Mengakali kehidupan dengan cara itu, mereka bisa menghemat beberapa rupiah yang bisa dipakai untuk—lumayan--short time.
“Begitulah kota kecil yang sedang belajar kota besar,”dukung Anto, rekannya.
“Tidak enaknya masuk baru tidak pesan bir. Kan lucu kalau di tempat begituan kita pesan puyer,” tutupnya sambil berlalu, meninggalkan hawa cap tikus di udara. (*)
Comments
Post a Comment