Mula-mula jari dan jempol digoyang-goyang. Tidak lama, kakinya ikut mengetuk-ngetuk lantai. Gelas Chivas ketiga, kepalanya mulai mengangguk-angguk seirama beat yang dimainkan Disk Jockey. Saat tiga penari erotis muncul, duduk serasa tak nikmat lagi. Sambil meloncat ke lantai dengan darah menggelegak ia memekik: Ampun DJ.
Itu suasana salah satu diskotik pada suatu malam minggu yang cerah, Kendari di pengujung Maret 2010. Dia, Endang namanya, bisa dipahami kekakuannya. Ia bukan crowd (istilah bagi pengunjung setia dugem) melainkan ada di situ karena merayakan ultah temannya, Naning (25). Dance party adalah kelanjutan dari selebrasi yang sudah digelar di Hote Horison, sebelumnya.
Naning, istri pengusaha mapan, seorang konsultan proyek, memilih Platinum, satu dari dua diskotik yang menghias malam-malam kota Kendari. Platinum, properti Hotel Himalaya sebenarnya, tapi dikonstruksi terpisah hingga seolah berdiri sendiri dan dapat diakses semua orang bukan hanya tamu hotel.
Sebelumnya, resident (istilah crowd untuk diskotik dan tempat menggelar dance party) di Sultra diperkenalkan oleh New Metro Diskotik pada 1991. Tiket masuk ketika itu masih Rp10 ribu. Beberapa kali berganti nama setelah New Metro berubah menjadi Jae Club Diskotik pada 1994.
Lalu tahun 1997 memakai label menjadi Dinasty. Sempat vakum beberapa waktu, belum lama ini ia kembali dengan wajah baru Planet Diskotik.
Di sela kevakuman trance party, TWT Diskotik menyeruak tahun 2002. Sebenarnya TWT (Taman Wisata Teluk) hadir sejak 1995 dengan nama awal STT (Segi Tiga Teluk). STT belum menggeluti diskotik ketika itu.
Nanti tahun 2002 barulah dihadirkan diskotik seiring berganti nama menjadi TWT. Sebuah wisata hiburan di mana ia menyediakan properti hiburan yang lengkap seperti diskotik, ball room, bar and karaoke, serta kafetaria.
Sementara itu Planet Diskotik belum sempat mengembalikan kejayaan dirinya seperti saat masih memakai brand Jae Club dan Dinasty. TWT meraja hingga 2009, sampai pendatang baru Platinum Diskotik mencuri perhatian. Para crowd setelah itu punya banyak pilihan menghabiskan malam-malam penuh warna di kota Kendari. Tentu saja masing-masing punya plus minus.
TWT masih tetap raja di malam Jumat dengan paket Malam Lady’s (Lady’s Night). Tiap malam Jumat, TWT berjubel pengunjung, ramai minta ampun. Gadis-gadis ABG yang sehar-hari tidak pernah kelihatan, di malam Lady’s bak laron keluar sarang.
Dari hulu hingga hilir, anak kota hingga pelosok kampung. Mumpung gratis, kata mereka. Khusus perempuan, malam itu gratis. Dan itu memberi efek domino. Seperti pepatah di mana ada gula di situ ada semut, para lelaki apalagi hidung belang tumpah ruah pasang “taji”.
Platinum kelihatannya merambah pasar kalangan elit. Tiketnya saja Rp100 ribu. Memang ia disemat desain dan teknologi lighting scene paling anyar. Namun beberapa pengunjung menyebut lightingnya terlalu ramai sehingga memberi efek terang.
“Diskotik mestinya dibuat gelap. Kecuali itu, Platinum sempurna,” komentar Amin Baharuddin, salah seorang crowd.
TWT kelihatannya tidak mengkhususkan diri dengan kelas-kelas tertentu. Ia merambah semua kalangan yang bahkan tukang becak bisa menikmati. Hiburan merakyat, tiketnya hanya Rp25 ribu (sekarang Rp35 ribu).
“TWT bagus tapi terlalu terbuka (karena murahnya, red), biar tukang becak ada,” kata Lia, salah seorang pengunjung.
Trancecologi memang sedang mewabah di mana-mana. Istilah trancecologi bermula dari kata ‘trance’, namun bukan mengacu pada istilah mengaburnya kesadaran seperti yang banyak ditemukan dalam kaidah mistikisme, melainkan lebih mengacu kondisi saat kesadaran seseorang ‘menyublim’ dalam nuansa ekstase.
Dan sungguh mati, kondisi ini tak dicapai dalam suasana sunyi-hening meditasi , namun dalam gelegar suara dan hingar-bingar suasana. Lantai dansa sebuah diskotik, atau anak muda punya istilah yang lebih personal, ‘dugem’ (dunia gemerlap ). Inilah sihir musik, yang ternyata mampu membius pendengarnya lewat hentakan-hentakan serba gegap gempita. (*)
Comments
Post a Comment