Rakyat kini sendirian. Ini bukan fitrahnya. Secara alamiah dia berdua tanah air. Hanya berdua, pada awalnya.
Interaksi antara keduanya melahirkan pemerintah. Bertiga, jadilah sebuah negara.
Agak ke sini, negara hanya cinta tanah air. Dipakai untuk memodali hegemoni kekuasaan. Kekuasaan untuk membangun ketahanan negara dari ekspansi serta keterbelakangan setelah trauma penjajahan.
Semakin ke sini, negara hanya cinta kekuasaan. Tanah air dijadikan objekan, rakyat dianggap ancaman, sementara potensial lawan diajak berteman.
Sejak pemerintah berselingkuh dengan investor, negara jadi distributor, rakyat jadi pasar.
Distributor produk-produk luar negeri, dari negara-negara kreditor. Supaya terdengar eksekutif style mereka namakan impor.
Rakyat hanya jadi objek pajak untuk mengisi APBN, yang dipakai untuk menyelenggarakan kenyamanan investor.
Lalu, perlahan-lahan taipan mengambil alih tanah air, menguasai kekuasaan.
Tanpa tanah air, rakyat tak bisa bertani dan beternak. Menjadilah ia kuli paksa di perusahaan-perusahaan swasta yang juga pemerintah.
Atau mendaftar jadi pegawai negeri di kantor-kantor pemerintah yang juga swasta.
Batas pengertian negeri dan swasta jadi kabur.
Penanda tibanya masa itu adalah ketika pemerintah dikritik, swasta ikut mendelik. Saat swasta dipersoalkan, pemerintah turut senewen.
Rakyat dijauhkan dari negara, diputuskan dari tanah airnya. Tugasnya hanya kerja, kerja, kerja. Supaya bisa beli, beli, beli dan setor, setor, setor. (*)
Comments
Post a Comment