Anabule, sebuah ungkapan yang akan sangat sering terdengar di ruang publik di Kota Kendari dalam percakapan sehari-hari.
Istilah ini bukan berarti anak orang Bule (Barat). Ia juga tidak ada kaitannya sama sekali dengan manusia bulai atau albino.
Barangkali, memang pada awalnya, ia dipakai secara eksklusif untuk menyebut anak yang lahir di luar nikah.
Menempatkannya secara sembrono sama saja mengajak berkelahi.
Dalam perkembangannya, istilah anabule ungkapan yang ditujukan pada siapa saja. Menjadi kata pembuka atau penutup untuk mempertegas kata yang mengikutinya atau mendahuluinya.
Misal, “anabule, kotornya!” atau “bodohmu situ, anabule”.
Bahkan kadang-kadang dipakai sekaligus sebagai pembuka dan penutup.
Contoh, “anabule, mingir ko, anabule.”
Lama kelamaan, maksud dan maknanya pun beragam tergantung situasi.
Dewasa ini, istilah anabule bahkan dimaksudkan untuk menyatakan kekaguman. Sama kadarnya dengan “wow”.
“Anabule, bagusnya suaranya!”
Atau dipakai untuk memelas, merengek.
“Kasih pinjam dulu uangmu, anabule. Cepatmi, anabule”.
Kata “tolong” pun diganti dengan “anabule”.
Kalau orang yang dimintai tolong ternyata enggan memberi, dia menolak dengan menggunakan istilah yang sama.
“Orang kayakah saya, anabule.”
Lain waktu, ungkapan anabule sering juga terdengar saat mereka menyatakan rasa terima kasih.
“Untung ada kau, anabule. Kalau tidak, mungkin saya sudah mati. Bisanya ko ada di situ anabule, apa ko bikin?”
Tidak semata menyatakan perasaan heran seperti kalimat di atas, kata anabule di lain kondisi bisa berarti jerit “aduh”.
“Anabule, sakit ko injak kakiku!”
Jadi, penting untuk tidak keliru menafsirkan secara sembrono.
Ungkapan anabule pada akhirnya mewakili semua ungkapan, semua rasa dirangkum jadi satu.
Apa tidak anabule namanya itu? (*)
Comments
Post a Comment