Di tanah ini, rumbia pernah menjadi segalanya. Mulai dari atap
hingga alas perut. Sampai suatu hari, segalanya menjadi tak terperi.
Basir baru saja menyelesaikan panen 17 batang rumbia (pohon
sagu), Minggu siang medio Mei 2014. Sembilan batang di antaranya tidak berisi penuh. Dua hingga
tiga meter tiap mereka harus dibuang. Pria berusia 68 tahun tepekur. Air mukanya sewarna kelam baja
ruang kebun yang diliputi mendung.
Ditingkahi gerimis, dalam langkah pulang ke dangau yang
didirikan di tepi Sungai Lapulu, Basir mencari langit lewat celah rerimbunan
daun rumbia.
"Kalau kebanyakan air, pembentukan isi terganggu,"
katanya, sambil membanting pandangan ke jalanan berlumpur di depannya.
Selama curah hujan tinggi sepanjang tahun, ia akan selalu
kehilangan dua atau tiga dari delapan karung tawaro (sagu) yang
dihasilkan setiap pohon rumbia. Memulai usaha pengolahan tawaro sejak 1972 di Desa Lamomea Kecamatan Konda
Kabupaten Konawe Selatan, Basir
mengingat di belakangnya, 2013 hujan hampir sepanjang tahun.
"Boleh dikata hanya dua setengah bulan musim panas,"
ujarnya dengan nada ditinggikan, mengimbangi gemuruh di atap dangau oleh hujan
deras.
Iklim beberapa tahun terakhir di jazirah tenggara Pulau
Sulawesi, semacam tidak lagi berada di jalurnya. Anomali cuaca mulai dirasakan
sejak 2006. Mula-mula hanya satu dua pohon yang mengalami "potong
pucuk" dua meter. Akhir-akhir ini semakin banyak.
Sekitar satu milenium lalu, seorang Tolaki perantauan kembali
ke Kendari dari Jayapura, Irian Jaya (sekarang Papua). Riwayat menuturkan, hari itu suatu waktu di tahun 1005, dalam
buntelan pakaian Sang Pitarah sengaja diselip sebiji buah pohon rumbia. Gayung bersambut, daratan Sultra memendam 18 ribu hektare lahan
gambut.
"Kemudian ada penanaman massal oleh masyarakat tahun
1921-1935," kisah Basir.
Penerimaan lidah Tolaki yang toleran terhadap sagu telah
merangsang pembiakan dan penyebaran pohon rumbia di Sultra sampai tak terkira. Di dapur orang Tolaki, sagu diseduh air panas lalu diaduk. Setelah matang, ia digumul dengan kuah ikan atau sayur,
bergantung pemilik selera. Sajian disempurnakan dengan racikan lombok dan
terasi serta perasan jeruk nipis. Begitulah, sinonggi dia dinamakan.
Sinonggi, makanan tradisional suku tolaki sama populernya
dengan Tarian Lulo. Tak lekang oleh beras, orang Tolaki selalu saja ada waktu
untuk mosonggi (makan sinonggi). Efek "Mosonggi Time", menginspirasi banyak pengusaha
kuliner di Kota Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara, membuka restoran
yang khusus menyediakan menu dari ramuan tawaro
ini.
Adalah Rumah Makan (RM) Aroma Kendari yang menangkap gairah
terdalam itu, sehingga tahun 2006 ia membuka rumah makan sinonggi pertama di
Kota Lulo. Kini, sedikitnya 15 rumah makan sinonggi sedang berebut meraih
perhatian pelanggan. Tawaro yang sebelumnya dianggap makanan "kelas
dua", kini dihidangkan restoran.
Situs Kementerian Pertanian mencatat lahan sagu dunia kurang
lebih 2 juta hektare. Sekitar 1,25 juta hektare atau kurang lebih 60 persen ada di
Indonesia. Dari angka itu, Sultra menyumbang 5.253 hektare. Sensus pertanian BPS Sultra tahun 2012 mencatat produksi sagu
sebesar 4.877 ton.
"Semua kebun sagu itu masih tumbuh alami, belum
dibudidayakan. Ada kultur yang harus diubah dari masyarakat kita, misal, jangan
cuma tahu memetik hasil tapi menanam juga," kata Kepala Dinas Perkebunan
Sultra Ir Bambang MM.
Kalimat ini terdengar lebih mirip petuah bijak ketimbang program
kerja.
"Kita pernah usul ke kementerian untuk mendapat perhatian.
Tapi luas lahan dinilai sangat kecil, sehingga Jakarta belum melirik Sultra
untuk dijadikan sentra pengembangan," lanjut Bambang.
Lantaran tak ditoleh pemerintah pusat (pempus), pemerintah
provinsi (pemprov) pun membelakangi petani sagu?
Sebagai orang Tolaki, Gubernur Nur Alam tahun 2009 di awal
menjabat, pernah menelorkan kebijakan mendorong perbanyakan pohon sagu dengan
insentif Rp 2,5 juta tiap petani. Program itu hilang tahun berikutnya. Alhasil, letak sagu dalam tabel komoditas Sultra berada di
posisi bawah, nyaris tak terlihat. Nada ringkih kemudian terdengar dari institusi pemerintah
lainnya.
"Produksi sagu baru bisa memuaskan kebutuhan perdagangan
antarpulau," kata Saleha, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Sultra.
Nun di sana, dalam kebun berkubang lumpur, bicara sagu
didendangkan dengan kalimat-kalimat riang penuh gairah. Dalam kesendirian tanpa kehadiran pemerintah, dan dengan metode
pengolahan jauh dari kesan moderen, Basir berujar, sagu Sultra telah melanglang
buana hingga negeri jiran Malaysia, Singapura, dan Jepang.
"Ada orang dari Surabaya yang selalu datang mengumpul,
kemudian diekspor keluar negeri," ucap Basri.
Ada bangga di dadanya, tak peduli posisi Sultra dalam konteks
ini ibarat telur mata sapi: Ayam yang bertelur, sapi yang punya nama. Dengan Jepang, ada ikatan emosional lebih dari sekadar hubungan
dagang sagu.
"Insinyur Jepang pernah datang tahun 1958 di sini. Dua
orang, hanya berdiri di pojok sana, melihat kami mengolah sagu," kisah
Basir.
"Tidak lama setelah mereka pulang, sudah ada di toko mesin
parut, pompa air, dan jaring," kenangnya.
Ruang kosong akibat ketidakhadiran pemerintah negeri sendiri,
diisi oleh Jepang.
"Dari situ, mengolah sagu jadi lebih mudah dan cepat
ketimbang cara tradisional yang kita pakai sebelumnya," senyum Basri
mekar.
Lama pengolahan sagu biasanya berbilang bulan, kini tinggal
menghitung hari. Tahun 2008 lahan sagu provinsi di kaki Sulawesi ini masih 5.607
ha. Kini ia banyak terkonversi jadi perkebunan sawit, areal
persawahan, sebagian diiris izin usaha pertambangan, beberapa lagi disulap jadi
permukiman.
Teror dari Atmosfer dan Kerak Bumi
Basir mendorong karung ke-74 ke atas mobi truk di pengujung Mei
2014 yang basah. Itu karung penutup dari seluruh hasil panen kali ini, akan
dibawa ke tempat penimbangan sagu di perbatasan Kota Kendari-Kabupaten Konawe
Selatan (Konsel).
Bila kalkulasi Basir tidak meleset, isi truk itu bernilai Rp 7
jutaan. Tidak terlalu mengecewakan. Basir tua di kebun
rumbia. Sudah 42 tahun ia berada di sana
terhitung sejak menapak usia 26. Lebih dari separuh umurnya.
Kebun rumbia Basri seluas 1,5 hektare, mengalir di bawahnya
Sungai Lapulu. Di samping Basir, ada beberapa petani sagu yang juga menggantungkan
hidup di nadi Lapulu. Basir memilih rumbia yang telah berusia tujuh tahun untuk
dipanen. Pada usia itu tingginya bisa menjulang 8-12 meter.
Dalam kondisi tanpa susut, sebatang rumbia mengandung 28-32
karung gumbal (pati), dan di ujung proses biasanya terlahir delapan karung
sagu. Dari 17 pohon rumbia panen terakhir, Basir hanya mengepak 74
karung sagu, bukannya 136 karung. Setelah sesi penimbangan di gudang pengumpul sagu, prestasi
Basir menoreh poin 3.380 kg atau sekitar
3,4 ton.
Harga pasaran sagu saat ini Rp 1.900 per kg. Sejatinya, Basir
akan mengantongi sedikitnya Rp 6,4 juta. Tapi, pengumpul sagu menilai tawaro Basir tidak bersih,
sehingga mereka memberi harga Rp 6.500 per kg. Finish, Basir hanya membawa pulang Rp 5,5 juta. Ada jurang yang
menganga antara dia dan impiannya. Untuk Basir seorang, ini tak jadi soal. Masalahnya, bagaimana
menjelaskan pada sang istri di rumah tentang Rp 7 juta yang diiming-imingkan
saban malam sebelum tidur?
Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kendari
mencatat, pergiliran dua musim secara normal terjadi pada Desember dan Juli.
Desember mengalami pancaroba menuju musim hujan, dan Juli merupakan masa peralihan
ke musim panas.
"Itu dulu. Sejak 2006-2007 Sultra mulai mengalami musim
hujan lebih panjang dari kemarau. Kini musim panas hanya terjadi Agustus,
September, dan Oktober," kata Adi Istyono, prakirawan BMKG Kendari.
Ia melanjutkan, kondisi ketika itu, walau tidak terlalu besar,
dipengaruhi iklim regional dan global oleh apa yang disebut global warming.
"Mulai tahun 2010, efek lokalnya lebih besar ketimbang
pengaruh regional dan global," paparnya.
Itu persis setahun setelah booming
ekspansi pertambangan mineral yang banyak merubah lanskap kehijauan menjadi
kesilauan.
"Triggernya jadi dua kali lipat," kata Adi.
Kecuali masalah yang datang dari atmosfer, pengolah sagu juga
dibayangi ancaman dari kerak bumi.
"Serba salah, memang. Kalau kebanyakan hujan dia tidak
berisi. Tapi, cepat besar baru tinggi," ujar Basir.
"Kalau musim panas, pertumbuhannya lambat. Tapi, padat
berisi.
"Dia ini tidak bisa terlalu kering, pun juga tidak bisa
terlalu basah.
"Dia memang harus bermain-main dengan hujan dan panas,
silih berganti," tutur Basri.
Musim panas itu juga, sambung Basri, masalahnya adalah sungai
kering. Sagu tidak bisa diolah.
"Musim hujan, sungai berair tapi keruh. Bicara hasil,
tentu lebih bagus kalau air jernih. Hasilnya, sagu putih seperti mutiara.
Harganya pun tinggi, Rp 1.900 per kilo," urai Basir.
"Kalau kotor, mereka (pembeli, red) potong Rp 2.500. Jadi,
harganya tinggal Rp 6.500 ribu per kilo.
"Dalam kondisi cuaca seperti ini, kita harus pintar
mengakali. Curi-curi waktu. Manakala air sungai jernih kita turun mengolah.
Bila sungai keruh, kita istrahat lagi," terang Basir.
Belum lagi masalah terbaru menyelip beberapa tahun terakhir.
"Sekarang sudah banyak bangunan kantor dan perumahan yang
didirikan di sepanjang tepi sungai ini, sampai ke hulu," ungkap Basir.
Di sini, dalam metode pengolahan sagu yang dipakai Basir,
sungai sama pentingnya dengan pohon rumbia.
Kepadatan Kota Kendari mendesak pembukaan pemukiman baru ke
tepian yang dahulunya hutan. Kampung Basir, Konda, persis di tepi Kota Kendari. Kendati saat ini belum terlalu menciptakan keonaran yang
berarti, menurut dia, ke depan secara perlahan akan jadi sebuah masalah besar
bagi kelangsungan usahanya.
Sebelum itu terjadi pun sudah tampak penurunan ketinggian
permukaan air yang mencolok. Makin dekat dengan dasar sungai.
Dia menduga ada sesuatu yang terjadi di atas sana, di bagian
hulu, membuat sungai sedikit lagi kering. Basir menyadari, ancaman paling mematikan daya sintas pengolah
sagu tradisional sebenarnya justru datang dari sesamanya manusia. (*)