Skip to main content

Kabut Misteri Lembah Tengkorak Nilangge

Para penambang batu Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sontak geger oleh temuan tengkorak serta tulang belulang di salah satu gua.

Sejak itu, dua tahun lalu tepatnya 2008 silam, tebing Nilangge yang selama ini dianggap keramat dipercaya sebagai tempat pembuangan mayat masal di masa lalu.

Baru-baru ini juga, masyarakat setempat mulai mengait-ngaitkan penamaan Kota Nilangge untuk tebing keramat itu.

Nilangge dalam bahasa ibu setempat (bahasa Tolaki) berarti tak kasat mata atau misterius. Dan tentang mengapa disebut kota, padahal kondisinya adalah tebing tinggi di pesisir pantai kampung nelayan Sawapudo, yang diselimuti hutan lebat nan gelap.

Kampung nelayan itu kira-kira 30 km dari kota Kendari. Dapat ditempuh melalui dua jalur darat lewat Puwatu dan Kota Lama. Lewat Alolama di Puwatu agak enteng karena jalannya cukup bagus, jaraknya pun dapat dipangkas menjadi kurang lebih 27 km. Lewat Kota Lama, jalannya minta ampun, sudah itu jaraknya lebih panjang.

Baru beberapa tahun yang lalu Sawapudo bisa diakses lewat darat, setelah jalan raya dibangun oleh pemerintah tembus kesana. Tadinya, kampung ini terisolir dan hanya bisa diakses lewat laut.

Selain atraksi alam berupa tebing dan lembah yang indah, Nilangge juga yang dihiasi banyak gua. Itu yang menarik banyak orang kota menyambangi Sawapudo, terutama mahasiswa pencinta alam. Oleh Mapala, tempat itu dijadikan lokasi tracking dan snorkeling yang asyik dan menantang.

Agak sulit mencari terjemahan Sawapudo dalam bahasa Indonesia namun pengertiannya kira-kira begini: Kalau masuk kampung ini dengan baik-baik, anda pasti dihormati. Tapi bila masuk dengan angkuh dan pongaah, jangan harap bisa keluar hidup-hidup.

Tokoh masyarakat setempat, Basri, 40 th, menyebut ada satu orang yang diduga tahu misteri Tebing Nilangge.Sayangnya Tea, demikian nama orang tua itu, sudah meninggal empat tahun silam. Ia meninggal pada usia sekira 100 tahun lebih.

Terakhir kali, Tea sempat terdengar menyebut soal tebing Nilangge. 

"Siapa itu yang masuk di Kota Nilangge," tanya Tea. 

Anak-anaknya agak terkejut karena Tea sudah lumpuh dan buta serta sedikit tuli, pada saat itu. 

"Mahasiswa ji (maksudnya anak Mapala, red)," jawab mereka. 

Waktu itu Tea hanya mengucap lirih, "ooh".

Tea diduga juru kunci misteri tebing Nilangge. Sebab tidak lama setelah meninggal, kata Basri, munculah heboh penemuan-penemuan tengkorak dan tulang belulang. Tapi terlambat, orang yang bisa ditanyai soal ini sudah meninggal.

Saat ini orang hanya bisa mereka-reka bagaimana tengkorak-tengkorak itu tertimbun disana. Dan hanya pada salah satu gua diantara puluhan gua. Selain tengkorak, diantara tulang belulang juga berceceran pecahan-pecahan tembikar.

Ada yang mengira-ngira bahwa tebing Nilangge dahulu dijadikan tempat pembuangan masal gerombolan yang dibantai. Ada pula yang menduga itu mayat para bajak laut yang dibunuh. Dari kejauhan nun di tengah laut, tebing Nilangge terlihat seperti perak. Tebing tinggi, veritkal, berbentuk segit tiga, berwarna putih seperti kapur, dindingnya tidak ditumbuhi lumut, rumput bahkan pohon.

Kontur itu membuatnya mudah dikenali dari kejauhan sehingga dengan mudah menjadi petunjuk bila orang hendak kembali ke tempat itu sekali lagi. Semacam penanda, namun sangat natural sehingga tidak memancing kecurigaan yang menyolok.

Begitu banyak pertanyaan, di antaranya mengapa harus dikumpulkan di tebing itu. Mengapa mayat-mayat itu tidak dibuang di laut begitu saja. Di samping itu, ada banyak gua di Nilangge, mengapa hanya ada satu gua yang menyimpan semua mayat.

Gua tengkorak itu semula tertutup namun ulah para penambang batu membuatnya terbongkar. Sehingga terlihatlah isi di dalamnya setelah puluhan atau bahkan ratusan tahun menjadi rahasia sejarah.

"Melalui penambang batu, tak sengaja gua itu akhirnya terbongkar dan keberadaan tengkorak-tengkorak mulai terkuak. Kita tahunya mulai dari situ juga," beber salah seorang Mapala Unsultra, Arwan Ganda Saputra.

Sebab itu, dengan hanya bersandar pada niat baik, ia dan kawan-kawannya mencoba kompromi dengan rasa takut guna merapikan tulang belulang yang berserakan dimana-mana. 

"Padahal dulu, biar dua orang kita berani tidur di situ. Tapi heh, kalau tahu ceriteranya begitu tidak bakal lagi," ciut Ganda.

Dyana dan Ikha, yang tergabung dalam Kelompok Pencinta Alam (KPA) Amcala, mendukung pernyataan Ganda. Awalnya, kata mereka, tempat itu disangka kuburan biasa. Sebelum penemuan itu, dua cewek yang menyukai petualangan gua ini, sempat mempunyai keberanian menjelajahi sejumlah gua Nilangge.

Ikha mengaku bila mengenang saat berkemah di Nilangge bersama KPA Amcalanya-nya, ia tidak percaya bisa begitu berani keluar sendiri ke jalan raya membeli camilan atau minuman. 

"Kalau sekarang, sory, sory, sory jek," katanya, sambil menirukan sepenggal lagu Keong Racun.

Dengan sedikit mata yang awas dan teliti, tempat ditemukanya tengkorak, terlalu kebetulan bahwa gua itu mirip sebuah sumur batu dan dinaungi batu besar sebagai tudung. Batu tudung itu sendiri tidak menyatu dengan tubuh sumur melainkan terpisah sama sekali.

Keadaan tudung itu terlalu simetris dengan bentuk lubang sehingga seolah sebuah perbuatan manusia. Lalu muncul asumsi ruang persembahan (sacrifice) dengan altar dan ramuan-ramuan magic yang dikemas dalam tembikar.

Basri menuturkan kampungnya baru di huni sekitar 40-50 tahun silam. Sebelumnya tempat itu adalah daerah pesisir yang kosong. Ia sendiri merupakan penduduk pertama yang berdiam di dekat lokasi Nilangge yang sekarang telah dihuni kurang lebih 40 KK. Basri menyebut dirinya membuka pemukiman disitu sekitar 20 tahun silam.

Desa Sawapudo seluruhnya sekitar 170 KK. Tidak seorangpun dari mereka tahu kalau Nilangge adalah kuburan masal. Sebab mereka mempunyai tempat pemakaman umum sendiri. Sejarah leluhur mereka sama sekali tidak ada kaitannya dengan kisah Nilangge.

Muncul dugaan kampung itu pernah didiami lalu sempat ditinggalkan oleh karena wabah penyakit atau sesuatu sebab yang lain. Kemudian sekitar 40-50 tahun yang lalu kembali dihuni. Bisa jadi juga kampung itu bahkan tidak pernah dihuni sebelumnya.

Apapun versinya, hari ini Desa Sawapudo tiba-tiba memendam misteri yang kokoh. 

"Tapi memang kalau masuk di Nilangge, udaranya dingin seperti es," kata Basri, sembari mengungkapkan ia pernah menemukan tulang kaki yang sangat panjang sehingga bila diperkirakan pemiliknya sangat besar dengan tinggi sekitar dua meter lebih.

Sebelum penemuan tengkorak, tutur Basri, tempat itu biasa dijadikan tempat perayaan usai panen. Kadang juga perayaan kenaikan kelas dan tempat memanjatkan doa. 

"Tapi kalau berdoa disitu, kebanyakan terkabul," ucap orang tua yang dikenal "pintar" itu.(*)

Comments

Popular posts from this blog

Katimboka: Layangan Pertama di Dunia

Peneliti layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck, saat memulai penelusurannya pada 1997 mendapati semua literatur menunjuk Cina rumah kelahiran layang-layang dunia. Mengambil tonggak 2800 tahun lalu Cina telah menerbangkan layangan terbuat dari sutra dan bambu emas sebagai bingkainya. Penggalian lebih jauh mempertemukan Wolfgang dengan layang-layang di Asia Tenggara yang lebih primitif. Terbuat dari daun. Baca Juga: Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope Persepsinya mengenai layang-layang terdamprat. Dari situ dia mulai membuka jalur baru pemetaan asal muasal layang-layang, menggunakan pendekatan teori evolusi. Wolfgang Bieck mengungkapkan hal ini kepada penulis, saat Festival Layang-Layang Internasional 2006 yang diselenggarakan di Kabupaten Muna, satu pulau kecil di Indonesia. Ia menaruh purbasangka, layang-layang sutra hanya mata rantai berikut dari evolusi layang-layang, suatu pengembangan dari layang-layang daun. Persoalannya sekarang, di Asia Tenggara teru...

Pesan Geologi Berusia 1,8 Juta Tahun untuk Kabupaten Muna

Muna sebagai kabupaten usianya tahun ini 65 tahun, sebagai kerajaan umurnya menginjak 814 tahun, sebagai sebuah pulau usianya menurut Kementerian ESDM terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.  Ilustrasi pengangkatan Pulau Muna Muna 1 Juli 1959 mekar jadi kabupaten. Sama-sama mekar dengan Kecamatan Kendari, Buton, dan Kolaka saat Sulawesi Tenggara resmi terbentuk jadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebelumnya Sulsel dan Sultra digabung jadi satu, Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Sejauh 2024 Muna sudah melahirkan 2 anak, yaitu Kabupaten Buton Utara yang dimekarkan pada 2 Januari 2007 dan 7 tahun kemudian tepatnya 23 Juli 2014 memekarkan Kabupaten Muna Barat. Terbersit rencana pemekaran dua wilayah lagi, Kota Raha dan Muna Timur.  Muna adalah nama suku yang mendiami satu dari dua pulau besar berdampingan di bawah lengan tenggara Pulau Sulawesi, Pulau Muna. Dan di sebelahnya Pulau Buton.  Secara administratif Muna berbagi tempat d...

Petunjuk Jalan Keliling Daerah Sulawesi Tenggara

Wakatobi hanya satu dari 4 pulau mayor di Sulawesi Tenggara yang memendam harta karun objek wisata alam yang eksotis. Mulai dari bawah laut, tepi pantai, hutan, sungai, air terjun, laguna, flora dan fauna endemik, gua purba, menara kars, hingga di angkasanya masih beterbangan burung langka dan layang-layang pertama di dunia, adalah semua apa destinasi wisata yang orang butuhkan, ada di jazirah ini. Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 17 kabupaten/kota, secara rinci 2 kota dan 15 kabupaten. Sebagian daerah-daerah itu berdiam di daratan utama Sulawesi dan sebagian tersebar di kepulauan. Persisnya 8 daerah di daratan dan 9 daerah di kepulauan. Wilayah Daratan Sebanyak 8 daerah di daratan adalah: Kabupaten Kolaka ibu kotanya Kolaka Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) ibu kotanya Wanggudu Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) ibu kotanya Tirawuta Kabupaten Konawe ibu kotanya Unaaha Kabupaten Konawe Utara (Konut) ibu kotanya Lasusua Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) ibu kotanya Andoolo Kota Kendari...