Susah sahur? Lari saja di bundaran Tugu Jati. Ada 6 tenda kaki lima berjejer di satu sudut taman, menjaja mi siram plus, siap menyelamatkan puasa anda esok hari. Praktis, cepat saji, murah pula.
Ajakan ini tentu saja khusus ditujukan buat tukang begadang, orang kemalaman dalam perjalanan, atau anak kos-kosan yang still single.
Ajakan ini tentu saja khusus ditujukan buat tukang begadang, orang kemalaman dalam perjalanan, atau anak kos-kosan yang still single.
Bagi begadang maniak, pasti kenal sudut ini. Sudut yang selama ini dikenal dengan nama kafe kayu-kayu. Tempat esek-esek orang kecil yang tidak mampu beli bir, tidak sanggup pakai “barang impor". Yang saban hari akrab disantroni razia Kameko (miras tradisional, red) oleh polisi atau pamong praja, lebih-lebih pada bulan Ramadan.
“Banyak orang suka sahur di sini,” kata salah seorang pedagang kaki lima, Wa Ode Ari (44).
“Banyak orang suka sahur di sini,” kata salah seorang pedagang kaki lima, Wa Ode Ari (44).
Beragam alasan yang pernah didengarnya antara lain,”Daripada pulang di rumah, makan sahur dingin, lebih baik sahur di sini”.
Mi siram yang sedang panas, dengan lapa-lapa dan telur ayam kampung serta lombok biji secukupnya, sudah bisa membuat sahur sedikit berkeringat dan gairah. Itulah satu paket hidangan mi sirim plus, ala bundaran Tugu Jati. Sajian alakadarnya itu sepadan dengan Rp6 ribu.
Menurut Wa Ode Ari, beberapa pelanggan membuat variasi sendiri semisal mi siram dengan 5 hingga 10 butir telur rebus ayam kampung. Ditutup dengan beberapa batang rokok dan secangkir kopi tubruk sambil menunggu sirine imsyak, hidup rasanya tidak jauh berbeda dengan orang kaya.
Apa pun variannya, tidak lari dari 3 bahan utama tadi: mie rebus, lapa-lapa, dan telur ayam kampung. Karena mereka hanya mengolah peluang pasar mi siram dan lapa-lapa, yang notabene tidak digarap restoran dan rumah makan.
Mi siram yang sedang panas, dengan lapa-lapa dan telur ayam kampung serta lombok biji secukupnya, sudah bisa membuat sahur sedikit berkeringat dan gairah. Itulah satu paket hidangan mi sirim plus, ala bundaran Tugu Jati. Sajian alakadarnya itu sepadan dengan Rp6 ribu.
Menurut Wa Ode Ari, beberapa pelanggan membuat variasi sendiri semisal mi siram dengan 5 hingga 10 butir telur rebus ayam kampung. Ditutup dengan beberapa batang rokok dan secangkir kopi tubruk sambil menunggu sirine imsyak, hidup rasanya tidak jauh berbeda dengan orang kaya.
Apa pun variannya, tidak lari dari 3 bahan utama tadi: mie rebus, lapa-lapa, dan telur ayam kampung. Karena mereka hanya mengolah peluang pasar mi siram dan lapa-lapa, yang notabene tidak digarap restoran dan rumah makan.
“Berusaha sesuai kemampuan,” ujar Wa Ode Ari.
Tenda mulai buka sekitar pukul 19.30 Wita, begadang semalam suntuk dan tutup pada pagi hari. Begitu setiap hari, meski bulan Ramadan. Hanya saja, keuntungan yang diperoleh pada bulan Ramadan berbeda dengan hari-hari biasa.
“Kadang pas-pas dengan modalnya. Tapi tidak apa,” tegarnya.
Tenda mulai buka sekitar pukul 19.30 Wita, begadang semalam suntuk dan tutup pada pagi hari. Begitu setiap hari, meski bulan Ramadan. Hanya saja, keuntungan yang diperoleh pada bulan Ramadan berbeda dengan hari-hari biasa.
“Kadang pas-pas dengan modalnya. Tapi tidak apa,” tegarnya.
Biasanya, Ari mengaku mampu menghasilkan pendapatan bersih Rp50 ribu semalam. Itulah yang dikelola untuk membiayai anak-anaknya kuliah. Dan alhasil, mi siramnya itu sudah mencetak polisi, dan pegawai negeri. Anak-anaknya kini tidak ada yang menganggur. (*)
Comments
Post a Comment