Skip to main content

Desa Tiga, Suku yang Tidak Kenal Wakil Rakyatnya

Kali pertama berjumpa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Satu Atap (Satap) kupikir hanya sebuah nama. Benak mileniumku yang dicekoki modernitas dan kecanggihan abad ini tak sedikit pun curiga jika nama itu adalah gambaran diri sekolah di Desa Tiga, pulau kecil di Selat Tiworo, Kecamatan Tikep. Sebuah kejujuran yang memiriskan hati.

Dinamai SMP Satu Atap karena ia satu atap dengan SDN 2. Gedungnya satu, gurunya sama, kepala sekolahnya pun satu. Kepala sekolah SD merangkap Kepsek SMP. Gurunya berjumlah 8 orang, mereka mengajar murid SD juga anak SMP.

“Ada guru mengajar sampai tiga bidang studi. Setengah mati kita minta guru, dari dulu kita minta sama bupati, tapi tidak turun-turun juga,” kata Rappe L, Kepala Dusun Mandike, Desa Tiga.

Kalau tamat SD, hanya seragam yang berubah. Sekolah tetap di situ, dengan guru yang sama, kepala sekolah yang sama. Melihatnya sedih tapi mengingatnya jadi geli. Bahkan suasana hati turut menjadi satu atap ketika sedih dan geli berbaur jadi satu ekspresi yang muncul serentak.

Desa Tiga adalah pulau hunian manusia paling tua di situ. Dia tidak sendiri, melainkan ditemani beberapa pulau kecil di sekitarnya. Salah satunya pulau pasir yang indah, Pulau Indo, atau Pulau Hoganya Muna.

Keturunan warga Desa Tiga lantas mengisi pulau-pulau kosong di sekitarnya dan membentuk desa-desa sendiri. Kini, telah terbentuk 7 desa, yang merupakan anak pinak Desa Tiga.

Jaraknya kurang lebih 1,5 jam dari Desa Lasama, desa tepi di daratan Kambara, ibu kota Kecamatan Tikep. 

Desa Tiga dihuni sebanyak 102 kepala keluarga (KK). Terbagi menjadi dua dusun, dusun Mandike dan Maigangan. Penduduknya mayoritas Bajau dan Bugis. Seluruhnya menggantungkan hidup pada hasil laut berupa ikan, kepiting, dan rumput laut. Itu pun masih dilakukan secara tradisional. 

Terakhir kali, kehidupan semakin sulit. Terutama, kata Rappe, setelah tetangganya di Kasipute turun dengan pukat harimau. Kondisi prihatin itu dimuali sejak 1982. Hidup makin garang menginjak tahun 2000-an.

Desa Tiga sebenarnya pulu pasir. Selain tumbuhan karang, tidak ada tanaman yang dapat hidup karena gersang. Bentuknya seperti sampan, lebar 100 meter dan panjang sekitar 2000 meter. 

Tidak ada air tawar. Air dibeli di Desa Lasama, satu jeriken Rp1000. Itu pun terbatas, karena kapal penjaja air hanya bisa melayani warga sepulau sebanyak satu kali sehari dengan kapasitas 8 drum. 

“Karena harus dibagi-bagi supaya dapat semua, jadinya setiap keluarga hanya dapat dua jeriken,” ungkap Rappe L.

Karena itu, Desa Tiga senang jika musim penghujan tiba. 

“Biasanya orang lari dalam rumah kalau hujan, di sini lain. Semua orang keluar, tidak ada yang tinggal dalam rumah. Jadi, kalau musim hujan di sini seperti pesta, semua orang keluar dari rumahnya,” kisah Rappe. 

Kayu juga dibeli, biasanya Rp500 satu ikat. Pada dasarnya semua serba dibeli dan harganya mahal hingga dua kali lipat. Hanya ikan yang tidak dibeli. 

Sayur di sana Rp1000 satu ikat, beli dari orang Lasama. Beras dipasok saudagar dari Makassar yang rutin datang dengan kapalnya.

Listrik juga tidak ada. Pernah ada listrik dari genset bantuan bupati Ridwn Bae, tapi tidak lama, dinamonya terbakar sehingga Desa Tiga kembali gelap gulita. 

Desa Tiga bagian dari Muna tapi nyaris tidak pernah menginjak Kambara, ibu kotanya. Letaknya lebih dekat ke Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dan Kasipute Kabupaten Bombana, ketimbang Kambara.

Bila hendak ke Kambara, lebih dahulu ke Lasama dengan katinting kurang lebih 1,5 jam. Lalu naik ojek ke Kambara. 

Sementara ke Bombana atau Konsel cukup hanya ditempuh selama satu jam dengan perahu kantinting, langsung sampai tujuan. Sebab itu, Desa Tiga lebih banyak berbelanja ke Konsel dan Bombana ketimbang Kambara apalagi Raha.

Desa Tiga tidak pernah tahu siapa anggota dewannya. Pejabat yang dikenal hanya empat orang yaitu Ridwan Bae, La Ode Kilo, Uking Djassa, dan H LM Baharuddin. 

Ridwan dikenal karena bupati, Kilo karena sekda, Uking karena suku Bajau, sedang LM Baharudin karena pernah turun mengadakan pengobatan gratis.

Lebih lucu, Pilcaleg 2004 warga Desa Tiga mengaku coblos sembarang. Tutup mata, di mana paku jatuh, itulah yang dibungkus lalu diantar ke kotak suara. (*)

Baca Juga:
Merenda Kehidupan yang Hilang di Pulau Renda

Comments

Popular posts from this blog

Lagu tentang Desember

Semua hal di dunia ini barangkali sudah pernah dibuatkan lagu. Tidak terkecuali nama bulan. Setiap bulan kayaknya ada lagunya, mulai dari Januari sampai Desember. Seperti halnya bulan ini kita berada di Desember, Indonesia punya beberapa lagu populer yang diciptakan dengan judul Desember. 1. Kenangan Desember - Arie Koesmiran (1970) Arie Koesmiran Ini lagu cewek. Lewat lagu ini si cewek membuka rahasia hatinya yang terdalam. Setiap wanita pasti punya kenangan emas, kenangan yang sangat berkesan dalam hidupnya. Kenangan emasnya dia direbut oleh seorang pria yang pernah membuatnya jatuh hati. Pria itu pun mencintainya sepenuh hati. Kedua remaja  terlibat asmara. Pada malam dia merayakan hari lahirnya di bulan Desember, kekasih hatinya hadir. Asmara sedang mekar-mekarnya. Dia dihadiahi peluk dan ciumaan mesra. Peluk cium pertama yang direguknya. Tak disangka itu yang penghabisan pula. Kisah cintanya dengan pria itu singkat tapi meninggalkan kesan yang sangat dalam. Apakah sang kekasih...

Tempat Keramaian Kendari, Wisata Malam Ruang Terbuka

Kota Kendari punya beberapa pilihan tempat kongko di ruang terbuka, tempat orang membentuk keramaian umum. Beberapa di antaranya menjadi tempat wisata malam pelepas penat, mengendurkan urat syaraf, menurunkan ketegangan setelah seharian sibuk beraktivitas.  Kendari, daerah yang perkembangan kotanya melingkari Teluk Kendari, tidak heran kebanyakan wisata kuliner, hotel, dan spot foto hits dibangun di tepi teluk, menjual view teluk dan dua landmark Kendari yang ikonik, Jembatan Teluk Kendari dan masjid terapung Al Alam. Berikut ini pilihan wisata malam ruang terbuka dan tempat-tempat keramaian yang populer.  1. Kendari Beach Kendari Beach dengan latar Teluk Kendari dan Masjid Al Alam di kejauhan Ada sepenggal jalan bypass di Kemaraya, jalur sepanjang Taman Teratai sampai Meohai Park, sebuah taman yang diapit Jln Ir H Alala dan Jln Sultan Hasanuddin, tempat keramaian pertama di Kendari sejak 80-an dan masih eksis sampai hari ini sebagai tempat favorit nongkrong. Panjangnya hanya ...

Kabupaten Tertua di Sulawesi Tenggara Berikut Modal Otonominya

Bicara kabupaten tertua berarti kembali ke masa awal terbentuknya Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi provinsi pada 1964, ketika 4 kabupaten bergabung membentuk satu provinsi. Mereka adalah Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton. Keempatnya di masa lalu adalah kerajaan mayor di jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Fakta lainnya, ada 2 afdeling zaman penjajahan Belanda yang bergabung dalam proses terbentuknya Provinsi Sultra. Afdeling Boeton Laiwoi yang terdiri atas onder afdeling Buton, Laiwoi, dan Muna, di tambah satu bekas onder afdeling dari afdeling Luwu, yaitu Kolaka. Afdeling Luwu berdiam di Sulawesi Selatan. Onder afdeling Kolaka ditarik masuk ke afdeling Boeton Laiwoi pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 dan tetap dipertahankan begitu ketika Indonesia merdeka oleh pemerintahan awal negara ini. Pada masa penjajahan Belanda, Sultra merupakan bagian dari Provinsi Celebes (Sulawesi) dengan ibu kotanya Makassar. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno...