Haroa di Raha 1990 Langsung ke konten utama

Haroa di Raha 1990

Zaman beralih, generasi berganti, kebudayaan berevolusi. Bahkan di pulau terpencil di kaki Sulawesi yang didiami suku Muna, gempuran modernisasi tak terlerai. Tradisi haroa pun tak luput dari intrusi. Menunya perlahan berasimilasi. Satu yang masih lestari: Lapa-lapa.

Kelengkapan Haroa

Haroa, sebuah tradisi berkumpul untuk memohonkan doa-doa atau memanjatkan puji syukur, yang ditutup dengan jamuan makan bersama.

Bagi suku yang mana jagung adalah makanan pokoknya, hampir setiap gerak kehidupan bisa diiringkan haroa.

Mulai dari menyongsong kelahiran hingga melepas kematian, mendirikan tonggak kegiatan hingga menghargai pencapaian, melunaskan hajatan hingga memuliakan perayaan. Salah satunya, haroa menyambut lebaran.

Hidangan yang disajikan tentu bukan menu yang lumrah dikonsumsi sehari-hari, melainkan masakan spesial yang hanya dipersembahkan pada acara penting dan massal, baik upacara adat maupun ritus keagamaan.

Pengerjaannya melibatkan proses yang rumit, repot, dan membutuhkan banyak orang yang bergotong royong.

Dari gambaran ini saja terdengar sudah sangat menggiurkan, bukan?

Di antara menu utama dalam sajian haroa, tersebutlah lapa-lapa, makanan tradisional yang terbuat dari beras. Sebuah warisan kuliner yang menakjubkan.

Haroa lebaran yang akan dilukiskan dalam tulisan ini adalah ikram Idulfitri tempo dulu di Raha--ibu kota Kabupaten Muna--dengan cara dan alat-alat tradisional, di tengah masyarakat yang masih memegang prinsip banyak anak banyak rezeki.

Aktivitas haroa tradisional ini dipraktikkan hingga kira-kira tahun 90-an.

Setelah dekade itu, barangkali tidak ada yang mengalaminya lagi, karena perkembangan teknologi melakukan lompatan yang luar biasa, telah mengubah drastis atmosfer kerja di dapur.

Satu instrumen dapat menggantikan pekerjaan beberapa orang. Tidak perlu banyak anak untuk meringankan beban orangtua. Dua anak cukup.

Pun sudah ada yang menyediakan jasa membuat lapa-lapa dan penganan tradisional. Tinggal pesan.

Memasuki milenium kedua, teknologi informasi membuka cakrawala pengetahuan lebih mondial mengenai resep masakan. Bukan kejutan bila sajian haroa tiba-tiba menjadi semacam festival kuliner internasional.

Di masa silam, segala hal untuk haroa dikerjakan dengan tangan sendiri dan merujuk menu orisinal warisan leluhur. Maka dari itu orang jadi hafal betul cita rasa lapa-lapa buatan ibunya, bagaimana tekstur gulai ayam racikan emaknya, atau legit kue sirkaya sentuhan uminya.

Akan ada banyak lapa-lapa dia temui sepanjang hidupnya, tapi lapa-lapa buatan emak selalu istimewa. Hal-hal yang di kemudian hari akan membuatnya rindu pulang kampung bila lebaran tiba.

Kesibukan mempersiapkan haroa sudah terlihat seminggu sebelum lebaran. Para ibu mulai berburu di pasar, membawa pulang antara lain utas bontu--tali yang terbuat dari kulit pohon waru.

Kulit kayu waru dijemur hingga kering lalu disebit dijadikan tali pengikat lapa-lapa.

Selain bontu, bahan-bahan yang tidak mudah layu atau membusuk diadakan sejak jauh hari. Seperti, ayam kampung, gula merah, buah kelapa, beras ketan, beras merah, dan telur ayam.

Membelinya dekat lebaran harganya kian hari kian mahal.

Masakan tradisional Muna akrab dengan santan, gula merah, dan telur, serta apa yang mereka namakan kauwei--bumbu gulai.

Manakala lebaran tinggal sehari atau dua hari barulah membeli janur, pisang raja, apa saja yang gampang layu atau membusuk.

Di sela-sela itu mereka mulai menganyam kulit pembungkus lapa-lapa dari janur serta menapis beras.

Menu kelengkapan haroa mensyaratkan adanya lapa-lapa, gulai ayam, wajik, cucur, kue sirkaya, pisang raja, telur rebus.

Semua hidangan itu nantinya diletakkan di atas dulang dengan tudung saji, saat haroa digelar.

Sehari Sebelum Lebaran

Pagi-pagi sekali, anak lelaki disuruh pergi minta tolong pada orang pandai menyembelih ayam. Ada kepercayaan bahwa nikmat daging ayam salah satunya tergantung cara potongnya. Kendatipun ayam muda bila disembelih asal saja, dagingnya boleh jadi alot.

Jika ayamnya peliharaan sendiri, ia mesti ditangkap terlebih dahulu. Cerita menangkap ayam ini tidak kalah seru. Bisa dijerat atau diadang beramai-ramai dengan tetangga. Berisiknya se-RT.

Setelah disembelih, ayam dibawa pulang untuk dicabuti bulu-bulunya dan dikeluarkan jeroannya, kemudian didiang sambil kulitnya dibersihkan.

Sekarang giliran kaum perempuan mengolahnya. Tahap yang ini pun mesti teliti, karena ada 3 macam urat yang harus dibuang yang membuatnya pemali bila ikut termakan.

Secara intrinsik dimaknai bahwa bahkan dalam harta yang halal ada bagian yang kotor yang harus dikeluarkan untuk menyucikannya.

Dapur sibuk sekali hari itu. Ada yang membuat penganan tradisional, sementara anak perempuan lainnya menggulai ayam, meramu lapa-lapa.

Anak-anak dalam konteks ini hanya sebatas membantu, masterchef-nya tetap saja emak.

Organ dalam ayam dikumpulkan, dibungkus dengan daun labu dan diikat biar nanti tidak berceceran dan hancur, demikian juga kulitnya dicencang dan dibungkus terpisah, lalu keduanya dimasak bersamaan dengan daging ayam dalam satu periuk.

Semalam mereka begadang, menumbuk beras untuk bahan kue cucur dan juga membuat bumbu gulai.

Yang terakhir ini tak kalah ribet. Buah kelapa diparut dengan kukur, kemudian disangrai, setelah itu ditumbuk dalam lesung hingga lumat. Jadilah dia bumbu gulai yang siap dipadupadankan dengan daging ayam.

Subuh hari, dapur kembali semarak. Menanak lapa-lapa butuh waktu lama, dengan perapian yang harus terjaga baik. Maklum menggunakan tungku dan kayu bakar. Harus sering-sering ditiup dengan bantuan semprong agar nyalanya bagus.

Kadangkala dibuat tungku tambahan di luar rumah, dua atau tiga, khusus untuk menjerang air dan merebus lapa-lapa.

Membuat lapa-lapa menggabungkan dua teknik memasak, yaitu menanak dan merebus.

Bahannya beras merah atau beras putih atau perpaduan dari keduanya.

Entah bagaimana awalnya pitarah orang Muna mengembangkan mahakarya ini. Ringkas kata, ketika menemukan beras, mereka lalu menciptakan lapa-lapa.

Pertama, menanak beras untuk membuat nasi aron. Nasi santan setengah matang. Setelah itu, nasi aron dibungkus dengan janur dan diikat rapi hingga air tidak gampang masuk.

Sengaja dibuat kedap supaya tahan lama, tidak lekas basi, dan paling penting cita rasanya tidak tercemar.

Kemudian, sekali lagi dimasukkan ke dalam periuk untuk direbus sampai matang.

Kayu bakar disediakan para lelaki. Beberapa minggu sebelum lebaran, sambil menahan lapar dan dahaga karena puasa, mereka keluar masuk hutan memastikan keperluan kayu bakar cukup.

Setibanya di rumah, kayu dibelah-belah dan dijemur. Ada pula caranya menyusun kayu biar cepat kering. Tidak sembarang.

Setelah itu, kaum Adam praktis tidak banyak terlibat, kecuali ada aktivitas yang membutuhkan kekuatan fisik. Misalnya, mengangkat periuk lapa-lapa, persediaan air habis sehingga perlu menimba air di sumur umum.

Serepot-repotnya para pria, masih bisa sambil menyabung ayam dengan tetangga sebelum ayamnya dipotong, berpesta ampela bakar--tingkula dalam bahasa setempat.

Masih sempat perang-perangan meriam bambu dan bermain petasan dari pentil ban sepeda.

Sedangkan kaum Hawa nyaris terpatri di dapur, sampai sore, hanya jeda makan siang.

Bila semua sajian haroa sudah kelar, seseorang diutus menjemput lebai atau modin yang akan memimpin doa.

Kadangkala modin mesti dipesan memang sejak sehari sebelumnya.

Tak jarang pula modin yang sementara memimpin haroa di rumah lain, ditunggui sampai selesai, lalu “diculik”. Modin pada hari itu jadi primadona.

Ada yang menggelar haroa setelah pengumuman pemerintah menetapkan Idulfitri pada petang hari, atau malam setelah takbir keliling, dan ada pula yang haroa keesokan harinya sepulang dari Salat Id.

Jikalau ternyata sidang isbat para ulama menyatakan belum menampak hilal 1 Syawal sedangkan sajian haroa sudah siap, maka haroa digelar saja malam itu, lalu puasa tetap dilanjutkan sehari lagi. Daripada basi?

Giliran lebaran tiba, lapa-lapa tinggal periuknya, gulai ayam juga tinggal kulitnya. Sudah habis dipakai sahur dan berbuka puasa semalam. Berhari-hari mempersiapkannya, ludes dalam sekejap mata, di waktu yang salah.

Itulah lapa-lapa, salah satu artefak kebudayaan yang hanya bisa diwariskan oleh peradaban yang tinggi.

Berdasarkan skala waktu, posisi tradisional memang berada di belakang, tapi tidak berarti terbelakang dalam nisbah kebudayaan.

Tradisionalisme menggali kearifan lokal, sedangkan modernisme menyortir budaya global.

Tradisional membuat kita unik, modern membuat kita seragam. (*)

Baca Juga:
Napabale Laguna, Lukisan Vagina Alam
Sketsa 80-an: Raha Sekilas
Corona Memperkuat Kelor
Raja Festival Layangan Internasional Itu Bernama Kolope
Main Tembak-Tembak Peluru Manggopa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Keramaian Kendari, Wisata Malam Ruang Terbuka

Kota Kendari punya beberapa pilihan tempat kongko di ruang terbuka, tempat orang membentuk keramaian umum. Beberapa di antaranya menjadi tempat wisata malam pelepas penat, mengendurkan urat syaraf, menurunkan ketegangan setelah seharian sibuk beraktivitas.  Kendari, daerah yang perkembangan kotanya melingkari Teluk Kendari, tidak heran kebanyakan wisata kuliner, hotel, dan spot foto hits dibangun di tepi teluk, menjual view teluk dan dua landmark Kendari yang ikonik, Jembatan Teluk Kendari dan masjid terapung Al Alam. Berikut ini pilihan wisata malam ruang terbuka dan tempat-tempat keramaian yang populer.  1. Kendari Beach Kendari Beach dengan latar Teluk Kendari dan Masjid Al Alam di kejauhan Ada sepenggal jalan bypass di Kemaraya, jalur sepanjang Taman Teratai sampai Meohai Park, sebuah taman yang diapit Jln Ir H Alala dan Jln Sultan Hasanuddin, tempat keramaian pertama di Kendari sejak 80-an dan masih eksis sampai hari ini sebagai tempat favorit nongkrong. Panjangnya hanya kurang le

Kabupaten Tertua di Sulawesi Tenggara Berikut Modal Otonominya

Bicara kabupaten tertua berarti kembali ke masa awal terbentuknya Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi provinsi pada 1964, ketika 4 kabupaten bergabung membentuk satu provinsi. Mereka adalah Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton. Keempatnya di masa lalu adalah kerajaan mayor di jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Fakta lainnya, ada 2 afdeling zaman penjajahan Belanda yang bergabung dalam proses terbentuknya Provinsi Sultra. Afdeling Boeton Laiwoi yang terdiri atas onder afdeling Buton, Laiwoi, dan Muna, di tambah satu bekas onder afdeling dari afdeling Luwu, yaitu Kolaka. Afdeling Luwu berdiam di Sulawesi Selatan. Onder afdeling Kolaka ditarik masuk ke afdeling Boeton Laiwoi pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 dan tetap dipertahankan begitu ketika Indonesia merdeka oleh pemerintahan awal negara ini. Pada masa penjajahan Belanda, Sultra merupakan bagian dari Provinsi Celebes (Sulawesi) dengan ibu kotanya Makassar. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno

Lagu tentang Desember

Semua hal di dunia ini barangkali sudah pernah dibuatkan lagu. Tidak terkecuali nama bulan. Setiap bulan kayaknya ada lagunya, mulai dari Januari sampai Desember. Seperti halnya bulan ini kita berada di Desember, Indonesia punya beberapa lagu populer yang diciptakan dengan judul Desember. 1. Kenangan Desember - Arie Koesmiran (1970) Arie Koesmiran Ini lagu cewek. Lewat lagu ini si cewek membuka rahasia hatinya yang terdalam. Setiap wanita pasti punya kenangan emas, kenangan yang sangat berkesan dalam hidupnya. Kenangan emasnya dia direbut oleh seorang pria yang pernah membuatnya jatuh hati. Pria itu pun mencintainya sepenuh hati. Kedua remaja  terlibat asmara. Pada malam dia merayakan hari lahirnya di bulan Desember, kekasih hatinya hadir. Asmara sedang mekar-mekarnya. Dia dihadiahi peluk dan ciumaan mesra. Peluk cium pertama yang direguknya. Tak disangka itu yang penghabisan pula. Kisah cintanya dengan pria itu singkat tapi meninggalkan kesan yang sangat dalam. Apakah sang kekasih men