Aura Pena Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Superiornya Usaha Pertambangan

Usaha pertambangan nikel pertama kali menginjakkan kaki di Konawe Utara Rakyat hilang dari pasal 33 UUD 45 begitu bicara soal tambang. Sebuah pasal yang menjadikan usaha pertambangan begitu superior dan menduduki tempat sangat istimewa dibanding usaha lainnya. Dalam praktiknya, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran, titik. Bupati Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Imran MSi, saat bincang-bincang dengan wartawan disela kunjungannya ke PT Ifishdeco, Selasa (20/9/11) lalu, mengatakan pada sebidang tanah setiap orang hanya berhak atas aset permukaan, tidak kandungan di dalamnya. Pemikiran itu berpijak di atas pasal 33 UUD 1945. Dari pasal itulah, terang Imran, lahir pemilahan dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pertambangan. Potensi bumi yang berada di atas permukaan tanah selanjutnya diurus dinas pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan urusan bawah tanah dikelola

Tambang Datang Tembilang Asing

Kandungan mineral menyeruak di tengah pertanian subur dan hutan belantara. Kolaka, bahkan di kolong rumah penduduk berkubang Nikel. Sebuah transisi yang radikal menyusul, mendesak, merongrong struktur kehidupan pertanian yang mapan. Gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Kaimoeddin pernah melontarkan pernyataan yang kemudian menjadi aksioma paling terkenal. "Mau membangun lihatlah Kendari, Mau berpolitik bergurulah di Muna, Mau berdagang belajarlah di Buton, mau bertani belajar dari Kolaka". Hingga Kaimoeddin meninggal dunia, dan dua gubernur memerintah sepeninggalnya, aksioma ini belum banyak mengalami deviasi. Kecuali Kolaka, sekira memulai start tahun 2009, Kolaka ibarat diayak-ayak. Lahan pertanian dan perkebunan sepanjang mata memandang, dibalik satu lapis, lalu seketika dihujamkan jauh ke dasar bumi. Sebaliknya, apa yang ada di perut bumi dikeluarkan ke permukaan untuk dikelola sebagai penghidupan sehari-hari.   Sejak itu pacul dan tembilang menjadi benda yang asing. Sepe

Wali Kota Malam

Tidak lama setelah kelelawar keluar di suatu petang November 2011, mereka juga sudah rapi dan wangi. Dari dagu pria-pria ini menyiratkan tidak ada masalah dengan isi di kantung. Asal bisa senang, uang bukan halangan. Mereka adalah orang-orang berpangkat dan berkuasa pada siang hari. Mereka sudah memiliki segalanya di hari siang, datang hendak menaklukan malam, melanjutkan kedigdayaannya untuk sepanjang hari. Wajah-wajah di mana asap mengepul dari ubun-ubun. Kelihatannya masih ada beberapa hal yang belum terpuaskan. Masih ada tawa yang belum dituntaskan.  Datang mengendus isi "aquarium" dengan seksama, dengus nafasnya menciptakan embun di dinding kaca. Aroma libido menyengat. Kokok ayam jantan mengisyaratkan watu tengah malam. Saat itu apa pun saja telah melarut, selarut malam. Bunyi butiran es batu menyentuh dinding gelas kaca, terbenam di riuhnya gelegar musik. Gelegak darah mengekstrak racikan impor menjadi gerak tak bernama. Mereka menjelma gambaran lagu Jamrud.  "Se

Turis Lokal dan Payung Rusak

Seorang teman, Maturidi, wartawan Kaltim Pos, menyimpulkan di Bali biarpun bawa uang banyak, turis lokal banyak tetap saja tidak akan ditoleh.  "Kita sudah kalah sejak awal sama bule, kita kalah di imej," katanya. Berdua Maturidi main di Pantai Sanur Ia mendapatkan kalimat itu waktu keluar hotel. Kebetulan hujan sedang gerimis, satpam hotel dengan sigap menawarkan payung untuk bule yang keluar. Giliran Maturidi lewat, ia dibiarkan begitu saja, ditoleh pun tidak. Atas nama keadilan Maturidi mencoba meminta satu. Satpam memberinya sebuah, itupun dengan kata pengantar yang panjang.  "Sudah habis mas. Masih ada satu, ini yang terakhir, tapi sudah rusak. Mau?" Erwan (sebelah kanan) menghirup segarnya angin laut Nusa Penida Dengan payung rusak, malam itu, saya, Maturidi, Erwan (Riau Pos) dan Rihard (Tribun Pontianak) memaksakan diri ke Kute. Besoknya adalah hari terakhir pelatihan untuk jurnalis tentang Redd Plus and Peran Lahan Basah yang diadakan Cifor, bekerja sama den

Cerpen: Gelandangan dan Gentayangan

Seorang pemuda gelandangan, namanya Lamun, duduk dibangku pojok sebuah taman kota. Ia sedang menghayal tingkat tinggi. Saking asiknya menghayal ia hanyut dalam alam hayal. Sementara jiwanya berkenala, tubuh kasarnya menghampa. Pertemuan Gelandangan dan Gentayangan Dalam keremangan senja itu, ada roh gentayangan yang lewat di taman, namanya Arwah. Melihat tubuh kosong di bangku taman, ia iseng masuk ke dalamnya. Dipakainya, dicobanya tubuh itu kesana kemari. Ia merasa cocok. Keasikan, ia lupa diri dan terus bertualang dengan tubuh temuannya itu.  "Nanti saja kalau pemiliknya pulang baru aku keluar," pikirnya. Di alam hayal, Lamun telah menjadi orang yang hidupnya berjaya. Hanya dalam sekejap ia bisa menjadi seorang miliarder, punya isteri cantik, rumah megah, dan semua kemewahan hidup yang diinginkan. Ia jadi enggan kembali ke tubuh pemulungnya di dunia fana. Ia memutuskan menetap di dunia hayal sampai tua, sampai tutup usia. Menolak Warisan Orang Tua Arwah belakangan menyadar