Aura Pena Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Panti Jalanan Itu Bernama Mandonga

Panti jalanan itu bernama Mandonga. Dari Baubau, Wakatobi, dari mana saja daerah di Sultra, anak-anak kecil yang terbuang dari keluarganya atau melarikan diri dari kekejaman orang tuanya, entah bagaimana, terkumpul di bundaran Mandonga. Bertahun-tahun lalu sejak menjadi pasar sentral yang ramai tahun 1990-an, Mandonga hingga hari ini Oktober 2010 tetap bertahan menjadi pusat keramaian. Dan malam hari, meski banyak daerah baru yang tumbuh menjadi pusat pertokoan semisal Wuawua, tidak sampai begadang seperti bundaran Mandonga (BM). Dari keadaan itulah para gembel melata. Menjadi agen penumpang angkot (aheng istilah mereka), lalu pada malam hari membantu menyusun dan membongkar dagangan kaki lima, atau disuruh membeli rokok. Seikhlasnya diberi orang, begitulah mereka hidup. Kebanyakan mereka masih sangat kecil, usia 7-10 tahun, yang mestinya masih menangis jika perutnya lapar, dibujuk dan dielus untuk membuatnya makan. Mereka tidur di pangkalan ojek, bila BM telah sepi, malam mulai berkab

Kabut Misteri Lembah Tengkorak Nilangge

Para penambang batu Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sontak geger oleh temuan tengkorak serta tulang belulang di salah satu gua. Sejak itu, dua tahun lalu tepatnya 2008 silam, tebing Nilangge yang selama ini dianggap keramat dipercaya sebagai tempat pembuangan mayat masal di masa lalu. Baru-baru ini juga, masyarakat setempat mulai mengait-ngaitkan penamaan Kota Nilangge untuk tebing keramat itu. Nilangge dalam bahasa ibu setempat (bahasa Tolaki) berarti tak kasat mata atau misterius. Dan tentang mengapa disebut kota, padahal kondisinya adalah tebing tinggi di pesisir pantai kampung nelayan Sawapudo, yang diselimuti hutan lebat nan gelap. Kampung nelayan itu kira-kira 30 km dari kota Kendari. Dapat ditempuh melalui dua jalur darat lewat Puwatu dan Kota Lama. Lewat Alolama di Puwatu agak enteng karena jalannya cukup bagus, jaraknya pun dapat dipangkas menjadi kurang lebih 27 km. Lewat Kota Lama, jalannya minta ampun, sudah itu jaraknya lebih panjang. Baru beberapa tahu

Tiga Jam Lagi Matahari Terbit

Mabuk, sudah pasti. Setelah semalaman melarikan diri dari dunia realita, dari hole yang gelap bermunculan wajah-wajah pekak, mata memerah, berjalan sempoyongan. Ini pemandangan di pintu keluar salah satu tempat hiburan malam Kendari medio 2010, tiga jam lagi matahari terbit. Yah, selamat datang kembali ke dunia nyata. Entah berapa banyak uang yang sudah mereka tinggalkan di ruang remang-remang itu, untuk musik hingar bingar dan beberapa botol minuman keras. Jangan membayangkan tentang wajah-wajah ceria layaknya seseorang yang baru pulang kampung setelah lama merantau. Pemandangannya sama sekali tidak sedap. Ada yang dipapah, ada yang meracau tak menentu. Tidak ada yang keluar dengan kepala tegak. Seolah enggan, mengapa ini harus berakhir. Kecuali Beberapa orang yang sudah hilang mabuk saat berurusan dengan kasir. Di antaranya ada wajah-wajah yang siang hari sangat dihormati terutama di kantornya. Untuk menyapanya, orang harus mengucapkannya dengan sedikit membungkukkan badan. Tapi duni

Rona Kuno Kota Lama Kendari, Romansa Abad ke-19

Wajah Kota Lama tahun 2012 Di bawah terang bulan, rona kuno mencuat kentara di profil jendelanya, di tekstur bangunannya. Toko tua di Kota Lama, Kendari, gurat lelah terpancar di wajahnya. Cat usang, tembok keriput, dibaluri debu berkarat. Sebuah view kenang-kenangan abad ke-19. Ada godaan konyol ingin mengorek debunya. Debu bertumpuk dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, sejak pertama kali dibangun. Siapa tahu di antaranya ada debu tahun 1920. Tahun yang menandai kedatangan pedagang Cina dan Arab membangun pertokoan yang ada saat ini. Hanya ingin tahu, apakah debu setiap zaman juga berbeda-beda.  Baca Juga: Kota Tua, Mesin Waktu ke Jakarta Abad ke-16 Nuansa kental rona abad ke-19 hanya bisa ditangkap pada tengah malam saat Kota Lama sedang pulas, jalanan lengang sunyi, lampu pertokoan sudah padam dan dilingkupi kesenyapan.  Saat seperti itu, lapat-lapat kita bahkan bisa mendengar desah nafasnya. Menggerayangi jendelanya yang usang dengan profil yang tidak pernah kita lihat kini, tid

Trancecologi Jalari Kendari

Mula-mula jari dan jempol digoyang-goyang. Tidak lama, kakinya ikut mengetuk-ngetuk lantai. Gelas Chivas ketiga, kepalanya mulai mengangguk-angguk seirama beat yang dimainkan Disk Jockey. Saat tiga penari erotis muncul, duduk serasa tak nikmat lagi. Sambil meloncat ke lantai dengan darah menggelegak ia memekik: Ampun DJ. Itu suasana salah satu diskotik pada suatu malam minggu yang cerah, Kendari di pengujung Maret 2010. Dia, Endang namanya, bisa dipahami kekakuannya. Ia bukan crowd (istilah bagi pengunjung setia dugem) melainkan ada di situ karena merayakan ultah temannya, Naning (25). Dance party adalah kelanjutan dari selebrasi yang sudah digelar di Hote Horison, sebelumnya. Naning, istri pengusaha mapan, seorang konsultan proyek, memilih Platinum, satu dari dua diskotik yang menghias malam-malam kota Kendari. Platinum, properti Hotel Himalaya sebenarnya, tapi dikonstruksi terpisah hingga seolah berdiri sendiri dan dapat diakses semua orang bukan hanya tamu hotel. Sebelumnya, residen

Kota Tua, Mesin Waktu ke Jakarta Abad ke-16

Berpose di jembatan dengan latar belakang The Batavia Hotel Ketika berhadapan dengan kenangan, kita bisa jadi begitu sentimental. Berada di Kota Tua Jakarta, seperti masuk dalam mesin waktu Jhon Titor, tahun 2010 melompat ke tahun 1600. Seperti, masuk dalam buku sejarah akhir abad ke-16 saat Hindia Belanda mendirikan VOC di pelabuhan Sunda Kepala. Bangunan kuno peninggalan hindia Belanda masih utuh, meski beberapa telah diselip bangunan modern milik swasta. Bisa jadi bangunan modern itu dahulunya adalah bangunan Belanda lalu direnovasi. Beberapa lagi dijadikan bangunan pemerintah. Walau begitu, nuansa Sunda Kelapa tempo Jan Pieterszoon Coen masih sangat kental. Menurut riwayat, Jan Pieterszoon Coen merebut Jakarta ketika itu masih bernama Jayakarta dari Portugis serta menghancurkan bangunannya. Lalu membangun kembali Jayakarta dan mengganti namanya jadi Batavia. Nama ini adalah nama sebuah suku Keltik yang pernah tinggal di wilayah negeri Belanda dewasa ini pada zaman Romawi. Untuk men